Pixabay |
“Ah, menyedihkan sekali,” ucap gadis itu sambil memperhatikan rintik-rintik hujan yang dengan sombongnya mencium tanah.
Menyedihkan sekali. Dua kata yang mewakili hasil penjelajahan si pemilik rambut ikal, Lala namanya. Entah pikirannya berjelajah sampai sudut mana sehingga bisa menemukan dua kata yang cukup tidak asing di telinga-telinga orang yang memiliki telinga. Senandungnya yang tidak lumayan bagus digantikan dengan embusan napas yang kasar. Hujan masih saja sombong, Lala yang tidak tahan dengan kesombongan hujan beranjak masuk ke dalam rumahnya, ingin mengistirahatkan pikirannya yang baru saja pulang berjelajah dengan membawa oleh-oleh; dua kata.
Menjadi gadis yang diberikan sel-sel otak yang hobi membuat semesta sendiri, mempunyai pikiran yang suka berjelajah tanpa butuh pemandu, dibekali perasaan yang pintunya sering dibuka tanpa perlu diketuk terlebih dahulu, dan didampingi teman yang hobinya rebahan walau baju kotornya menumpuk berteriak minta dicuci.
“Anis, besok pagi sibuk, tidak?” Tanya Lala lewat telepon. Di tengah kegiatan istirahatnya, dia menghubungi temannya yang hobi rebahan itu.
“Sibuk, mau meditasi di atas kasur yang selalu menggoda di setiap saat,” Ini bukan kali pertama Lala mendengar Anis mengatakan kalimat andalannya. Lala sudah cukup sering mendengarnya, baik online maupun offline.
Alasan Anis itu bukan penghalang, otak Lala sudah cukup lincah menemukan balasan yang tepat dan pas untuk alasan yang sudah cukup bosan didengar telinganya dan dilihat matanya.
“Kakimu sudah hampir pernah menginjak semua sudut daerah sekitar sini, aku yang baru dua bulan di sini belum lihat apa-apa. Besok pagi temani aku jalan-jalan. Nanti kubelikan ayam geprek deh sebagai bayarannya,” Rayuan Lala akhirnya disambut manis, mungkin karena keberadaan kalimat terakhir di perkataannya.
“Besok jam 8 pagi aku ke rumahmu, kita ke pasar buku.”
“Pasar buku? Di sini ada pasar buku? Wah asik sekali, kenapa tidak bilang dari dulu?”
“Jangan banyak tanya lah, mataku sudah berat. Kalau hujan seperti ini, enaknya itu tidur, atau makan mi ayam yang kuahnya banyak.”
“Ya ya, semerdeka jiwa ragamu saja Nis. Sudah dulu, besok pagi kutunggu di rumah yah.”
“Siap, jangan lupa sediakan kamera dan uang secukupnya. Di dekat pasar buku, ada tempat yang pas untuk mempercantik isi Instagram dan banyak tempat wisata kuliner.”
“Sembarangan kamu, sudah dulu. Bye!”
Setelah mematikan sambungan teleponnya, pikiran Lala yang sempat beristirahat tadi mulai melanjutkan perjalanannya. Pasar buku, tempat yang bagus, makanan yang enak, semuanya Lala suka. Mengunjungi tempat-tempat baru di negeri ini adalah kesukaannya. Sel-sel otak Lala mulai menciptakan semesta lagi, pikirannya mulai menjelajah. Mengunjungi tempat-tempat yang disenangi jiwanya benar-benar menyenangkan, pikirnya.
Pagi ini Lala begitu semangat, setelah dua bulan kepindahannya ke tempatnya saat ini, akhirnya jiwa raganya berjelajah juga, bukan hanya pikirannya. Akhirnya dia akan mengunjungi tempat-tempat yang benar-benar nyata, bukan buatan sel-sel otaknya. Lala menunggu Anis di teras rumahnya, jarak rumah mereka kurang lebih seratus meter. Rencananya mereka akan menggunakan angkatan umum –bus-- yang cukup bersahabat dengan anak perantauan yang tinggal sendiri, jauh dari sumber keuangan utama; orang tua.
Setelah lima menit menunggu, akhirnya sebuah bus menghampiri mereka. Keliatannya cukup sesak di dalam, tapi karena tidak kuat menunggu lagi, mereka berdua harus rela berdiri dengan satu tangan berpegangan sambil berdesakan. Keadaan dalam bus ini membuat Lala tidak nyaman, entah bagaimana dengan Anis. Biasanya, tempat duduk antara perempuan dan laki-laki dipisah, setidaknya ada jarak. Tapi kali ini berbeda.
Lala benar-benar tidak nyaman, tepat di belakangnya ada laki-laki yang juga berdiri, hampir tidak ada jarak dengannya. Pikirannya mulai tidak karuan, dia tahu laki-laki di belakangnya ini lewat batas.
Keadaan di dalam bus yang begitu sesak membuat dia tidak bisa apa-apa selain memikirkan hal-hal aneh. Miris sekali, baru saja kemarin ia memikirkan tentang isu-isu di negeri ini. Isu-isu seperti rasisme yang masih saja terjadi, kasus korupsi yang tidak berkurang, kebakaran hutan yang melanda beberapa tempat, maraknya kekerasan dan pelecehan seksual, dan lain-lain. Menjelajahi isu itulah yang membuat pikirannya membawa oleh-oleh dua kata; menyedihkan sekali.
Hari ini Lala merasa dia menjadi korban pelecehan secara tidak langsung yang entah disengaja si pelaku atau tidak. Posisinya saat ini benar-benar masuk dalam hal terburuk dalam hidupnya. Ia ingin meminta tolong, tapi kepada siapa? Anis juga sedang sibuk mempertahankan diri dari desakan-desakan penumpang. Yang ia harap sekarang, ibu berkerudung merah yang tengah duduk di depannya akan turun di halte selanjutnya.
“Lala, kenapa kaget begitu?” tanya Anis yang menyadari perubahan air muka Lala setelah turun dari bus.
“Negara kita katanya negara aman kan, Nis? Semuanya punya hak asasi manusia, kan? Semuanya dijamin kesejahteraan dan rasa amannya, kan? Semuanya bebas mengeluarkan pendapat baik lisan dan tulisan, kan?”
Anis cukup kaget, ini pembicaraan berat baginya. Kalau Lala berbicara seperti ini, pasti pikiran serta hatinya telah menangisi keadaan negeri ini yang dibalut dengan kata ‘katanya’.
“Menyedihkan sekali,” ucap Lala sambil tersenyum sinis, dan itu menyeramkan.
Walau dalam keadaan bingung, Anis tetap menemani Lala ke pasar buku. Muka Lala hanya membaik sedikit, Anis tidak mau bertanya lagi, hanya berharap semoga pasar buku bisa membawa suasana yang baik.
“La ini nih pasar bukunya, kita lihat-lihat dulu bukunya, siapa tahu kamu mau beli.” Anis berceloteh dengan semangat, ia melihat Lala sudah cukup membaik dengan senyum kecilnya.
Lala menghampiri sebuah kios yang ada di pasar buku ini, ekspresinya seketika murung, dia ingin marah rasanya, hatinya cukup sakit melihat buku-buku bajakan tersusun rapi di rak-rak kayu. Pasar buku yang dibuat sel-sel otaknya kemarin malam benar-benar berbeda dengan pasar buku yang dia kunjungi sekarang.
“La, mau buku yang mana? Ada novel-novel juga lho. Murah lagi, pas di kantong anak rantau yang hobi baca buku tapi minim ehm hehe.” Ucap Anis yang memasang muka tanpa dosa dan senyum yang dipaksa agar terlihat manis dan imut dalam satu waktu.
“Anis kamu tidak sadar?” sambar Lala dengan ekspresi marahnya.
“Sadar bagaimana maksudmu?”
“Negara kita hampir hancur di tangan-tangan rakyatnya sendiri. Tanah air kita kekurangan penjaga Nis. Menyedihkan sekali.”
“Kekurangan penjaga? TNI dan polisi ada banyak La, di sini juga tidak sedang ada pemberontakan atau semacamnya. Kenapa tiba-tiba bahas hal seperti ini?” Anis makin bingung, Lala mulai lagi bermain dengan isi pikirannya yang membuat marah.
“Kamu kira negara kita hanya perlu dijaga dari pemberontakan dan semacamnya? Negara kita ini hampir hancur Nis, banyak sekali hal-hal besar yang menurut orang lain tidak punya arti dan tidak butuh penjaga,
“Pelecehan seksual di mana-mana, sebagian orang menganggapnya hal sepele yang tidak perlu dibesar-besarkan. Mereka tidak tahu bagaimana perasaan korban yang cuma bisa diam karena tidak ada dukungan. Negara kita perlu dijaga dari hal yang seperti ini, Nis.”
Lala menjelaskan dengan menggebu-gebu, wajahnya memerah, siapapun yang melihat pasti tahu; Lala sedang marah.
“Lala …” Anis bermaksud membujuk.
“Anis, kamu membawaku ke pasar buku yang benar-benar menyedihkan. Kamu lihat buku-buku itu, bajakan Nis, bajakan! Coba pikir sedikit, penulis buku itu harus rela menghabiskan waktu yang tidak sedikit, tenaga yang tidak sedikit supaya karya mereka bisa naik cetak. Dan orang-orang yang tidak bertanggung jawab dengan bangga menyusun buku-buku yang dibajak itu di rak dalam kios mereka. Negara kita perlu dijaga dari hal seperti ini Anis.”
“Lala, sudah … ayo kita pulang. Besok kita ke tempat yang lebih bagus dari ini, aku antar tanpa pamrih. Jangan marah lagi.” Bujuk Anis pelan.
Anis bahkan tidak berpikir sebelum membawa Lala ke tempat ini. Harusnya ia tidak lupa bahwa temannya yang satu itu sangat mencintai tanah airnya, sangat mencintai Indonesia. Harusnya ia tidak lupa kalau dia sedang berteman dengan orang yang senang sekali memperhatikan keadaan negerinya, mencari tahu tentang hal-hal baru yang sedang menimpa negerinya walau akhir-akhir ini kebanyakan hal-hal menyayat hati yang menyapa negerinya. Harusnya Anis tidak lupa, bahwa kebiasaan seorang
Lala adalah menjelajahi negeri ini lewat pikirannya atas bantuan sel-sel otaknya. Harusnya Anis sadar, Lala benar-benar peduli dengan negerinya yang dipenuhi kata ‘katanya’.
Rencana jalan-jalan ke tempat yang lain dan makan ayam geprek dibatalkan hari ini. Lala mulai menenangkan dirinya. Mungkin sebagian orang berpikir bahwa Lala terlalu berlebihan karena marah seperti ini. Lala tidak keberatan, karena yang tahu pasti apa yang ia rasakan hanya dirinya sendiri dan Tuhan.
“Anis … kamu tahu cita-citaku, kan?” tanya Lala dengan nada lirih.
“Tahu. Kamu mau jadi traveler, pengajar, penulis, dan ingin punya perpustakaan yang punya cabang di mana-mana.” Jawab Anis enteng, seakan-akan ia sudah tahu di luar kepala.
“Kamu tahu kenapa?”
“Jika kamu ingin mendengar jawabanku, akan kutebak. Yah, mungkin karena kau ingin mengunjungi banyak tempat, selain itu, juga punya banyak uang.” Jawaban masuk akal.
“Tidak salah. Tapi aku ingin mengunjungi banyak tempat di negara ini karena aku ingin belajar dari banyak sumber, dari banyak pengamatan, dari tempat yang berbeda. Aku ingin menjaga negara ini dengan caraku sendiri karena keinginan menjadi seorang polisi wanita tidak bisa kuraih,
“Aku ingin menjadi seorang pengajar, pekerjaan mulia yang mengantarkan banyak orang pada kesuksesan. Aku ingin menjadi pengajar yang mengajarkan hal-hal kecil di mata kebanyakan orang tapi sebenarnya punya arti besar, hanya saja sering disepelekan. Aku ingin menjadi penulis karena aku ingin menulis sesuatu yang bisa menjaga negeri ini, menjaga tanah air ini. Menjaga tanah air dengan tulisan, apa aku aneh, Nis?”
Anis yang sedari tadi mendengarkan dengan khidmat langsung menjawab, “Yang mengatakan itu aneh adalah orang aneh. Dan aku bukanlah orang aneh.”
Lala tersenyum, mimpinya yang selalu berhubungan dengan menjaga tanah air seringkali dianggap aneh. Kali ini dia senang, karena Anis mengerti dan tidak menganggapnya aneh.
“Lalu tentang punya perpustakaan itu, bagaimana?” tanya Anis.
“Punya perpustakaan yang ada cabang di mana-mana, agar semuanya bisa membaca tanpa kesusahan mencari buku serta tempat membaca yang nyaman. Aku mau semuanya suka membaca, setidaknya agar kita semua bisa berpikir bijak terhadap apapun. Bukannya langsung menyimpulkan sesuatu tanpa tahu apa-apa. Membaca itu ibarat jembatan agar kita bisa menjaga tanah air dari sungai yang kotor.”
Anis merasa bangga, dia bisa mengenal orang yang benar-benar ingin menjaga negerinya, menjaga tanah airnya. Anis sekarang tahu, menjaga tanah air tidak lah selalu disandingkan dengan dunia militer atau pun pemerintahan. Semuanya bisa menjaga tanah air dengan cara mereka sendiri, dengan cita mereka sendiri, dengan cinta mereka sendiri, dengan semangat mereka sendiri. Semuanya bisa menghapus dua kata yang sering disandingkan dengan tanah air kita yaitu “menyedihkan sekali.”
[Evi Nur]
Mahasiswa Fakultas Sains dan Teknologi Pemenang Juara I Lomva Cipta Cerpen Orsenik 2019
KOMENTAR