![]() |
Detik.com |
Bulan Safar juga dikenal sebagai bulan terjadinya malapetaka atau wulan sing akeh sial. Terkhusus hari Rabu terakhir bulan ini, atau dikenal dengan Rebo Wekasan. Belum jelas asal-usul kepercayaan ini, tapi masyarakat meyakini bahwa hari Rabu itu banyak terjadi bala atau malapetaka.
Masyarakat percaya dengan memberhentikan beberapa aktivitas kerja. Seperti melakukan perjalanan jauh atau pekerjaan yang dirasa cukup berbahaya bagi dirinya. Di buan ini masyarakat dianjurkan untuk saling membantu orang lain dan memperbanyak sedekah. Selain itu juga untuk lebih meningkatkan tali silaturahmi antarsesama.
Berkaitan dengan hal ini, masyarakat biasanya melakukan beberapa kegiatan yang dikenal dengan Ngapem, Ngirab dan Rebo Wekasan serta Tawurji.
Ngapem sebagai Bentuk Syukur
Ngapem berasa dari kata Apem. Sebuah kue berbahan dasar tepung beras yang dimakan disertai pemanis yang terbuat dari gula jawa dan santan yang disebut kinca. Umumnya masyarakat membagikan kue apem ke tetangga terdekat yang dimaknai sebagai rasa bersyukur dan untuk terhindar dari malapetaka.
Kue apem yang dicelupkan di kinca saat dimakan, melambangkan darah yang seolah diri kita sedang terkena musibah. Membagikan kue apem juga dilambangkan memusnahkan musuh dengan memasukkan apem ke dalam kinca.
Ngirap dan Pembersihan Diri
Bulan Safar diyakini sebagai bulan yang penuh malapetaka yang bisa terjadi kapanpun tanpa terduga. Hal ini juga diyakini Sunan Kalijaga untuk mencegah datangnya Rebo Wekasan. Beliau membersihkan diri dengan mandi di Sungai Drajat pada saat berguru dengan Sunan Gunung Jati. hal ini akhirnya diikuti oleh masyarakat dan dijadikan adat oleh masyarakat Cirebon.
Menjadikan kegiatan rutinan untuk mengunjungi petilasan Sunan Kalijaga dengan menaiki perahu dan melakukan mandi di tempat tersebut. Selain di tempat petilasan, mandi tolak balak juga dilakukan oleh masyarakat di beberapa wilayah lain.
Adat ini disebut dengan Ngirap yang artinya menggerakkan sesuatu untuk membuang yang kotor. Beberapa masyarakat masih meyakini adat ini dengan serius dan spiritual. Namun kebanyakan orang menjadikannya sebagai rekreasi dan bersenang-senang untuk melupakan bulan yang penuh bala ini. Adat ini juga menjadi sarana untuk melestarikan dan menjaga ekosistem alam terutama sungai agar tetap terjaga.
Tawurji dan Berbagi
Sebagai pelengkap dari beberapa ritual yang ditutup dengan Rebo Wekasan sebagai hari penting, selepas Isya hingga Subuh sebagai pergantian hari akan dipenuhi dengan anak-anak berkopiah lengkap dengan sarung yang dikalungkan ke badannya. Berkeliling dari rumah kerumah sembari melantunkan beberapa nyanyian.
"Wur tawur nyi tawur, selamat dawa umur,"
Didampingi oleh seorang empu rumah yang akan menanyakan "Sing endi cung?" yang kemudian akan dijawab oleh masyarakat yang tinggal disekitarnya.
Ada riwayat yang mengatakan bahwa anak-anak tawurji berasal dari pengikut Syaikh Lemah Abang atau Syeh Siti Jenar atau biasa disebut Syaikh Datuk Abdul Djalil. Ditelisik dari sejarah terdahulu, Syeh Siti Jenar pernah mengajarkan sesuatu yang membuat orang mengesampingkan syariat agama. Sehingga konon dulunya beliau diadili oleh Walisongo di masjid Agung Cirebon dan dieksekusi oleh Sunan Kudus menggunakan Keris Kantanaga milik Sunan Gunung Jati.
Sayangnya tradisi ini semakin terkikis oleh perkembangan zaman. Namun banyak yang masih mempertahankan esensi diantara apem, ngirap, tawurji dan rebo wekasan untuk menanamkan rasa waspada dan memperbaiki diri akan segala kemungkina buruk dalam hidup. [Firda]
KOMENTAR