
Paradigma itu cara berpikir manusia. Setiap manusia memiliki cara dan pola berpikir masing-masing. Ada yang pola pikirnya pendek, sempit, kaku, stagnan, kolot dan sebagainya. Ada juga yang pola berpikirnya dinamis, luas, maju, kritis, dan sebagainya.
Mengapa demikian? Karena cara berpikir manusia itu ditentukan lingkungannya, dan kebiasaan dalam merespon masalah yang dihadapai. Maka dari itu kali ini sangat cocok sekali, kita hidup di era perkembangan segala IPTEK yang pesat mau tidak mau seorang akademisi sangat penting untuk memiliki cara berpikir yang responsif dan berpikir kritis terhadap fenomena sosial. Beda antara orang yang berparadigma kritis dan kolot. Dia bisa dilihat mulai cara becandanya.
Bercanda dengan orang yang berwawasan luas easy doing, sangat menikmati. Orang yang berwawasan cekak kebalikannya dengan yang tadi. Biasanya lebih mudah marah dan tersinggung. Karena pengetahuannya terbatas dan meniliki banyak masalah dalam dirinya. Maklum saja, dalam dirinya sendirinya saja masih punya masalah kok diajak guyonan ya marah. Begitu logika pendeknya.
Fahrudin Faiz megatakan, orang cerdas yang memiliki intelektual tinggi cenderung sedikit teman. Sebab,orang yang cerdas miliki pemikiran yang berbeda dengan teman-temannya, artinya menguasai pengetahuan lebih. Pengetahuan yang luas ini tidak lepas dari pola pikir dan cara pandangnya terhadap fenomena sosial sekitar. Tidak mudah menganggap dirinya paling benar, sedang yang lainnya salah,ataupun mencela etnis selain etnisnya itu rendahan. Bukan begitu cara berpikirnya orang cerdas.
Sebagian besar manusia sekarang telah kehilangan jati dirinya. Ia melakukan segala kesibukan berdasakan trend. Apasaja yang lagi trend di medsos, mall, atau dibelahan dunia luar mereka ikuti. Jarang yang memikirkan terlebih dahulu apa manfaat dan keuntungan untuk dirinya. Mereka lebih mementingkan sama pada temannya, artis kesukaannya, atau biar tidak dibully karena dianggap tidak trend oleh temannya, dan sejenisnya. Tidak memperdulikan orangtuanya, kondisi ekonominya, lingkungan masyarakatnya, atau bahkan Tuhannya. Kembali lagi, paradigma yang digunakan sebagai cara pikir masyarakat sekarang sudah tidak punya jati diri.
Belum lama ini ada seorang artis, Kailly Jenner memakai pakaian celana jeans yang disobek sekitar pantat juga banyak orang Indoneaia yang meniru. Wawasan tentang etika berpakaian orang Indonesia yang asli sudah terlupakan gara-gara ikuti trend. Inilah yang menyebabkan jati diri bangsa Indonesia hancur. Sebab masyarakat Indonesia sendiri banyak yang sudah tidak memperhatikan jati dirinya.
Kalau jati diri itu dimulai dari pola pikir yang cerdas, kritis, dan empiris. Bagaimana mungkin bisa menjadi bangsa Indonesia yang besar, memiliki jati diri yang kuat tanpa mau mengubah pola pikirnya sendiri?
Bangsa yang besar, bangsa yang tahu akan sejarah bangsanya sendiri, seperti kata Soekarno. Sejarah bangsa termasuk nilai-nilai etika, kesopanan, dan akhlak, Indonesia mempunyai sendiri. Adat kesopanan terhadap sesama disimbolkan dengan gerakan lemah lembut, disimbolkan dengan kesenian tari. Adat bicara santun, disimbolkan dengan tembang atau lagu-lagu. Begitu juga cara berpakaian yang santun dan terhormat disimbolkan oleh pakaian adat. Itulah jati diri bangsa.
Hanya saja sekarang adat bangsa Indonesia dilestarikan sekedar ceremonial. Adat dipakai saat acara-acara tertentu. Tidak diamalkan secara masif sehari-hari oleh masyarakatnya. Terutama pada nilai-nilai kesopanan, kelemah-lembutan, bahkan berpakaian. Kalau orang Jawa bilangnya unggah-ungguh sudah tidak dipakai lagi oleh bangsanya. Itulah sebagai contoh kecilnya.
Lagi, omongan orang yang bilang, adat itu hanya dipakai pada zaman dahulu. Itu malahan orang yang kolot. Karena tidak mengerti jati dirinya. Mereka hanya ikut-ikutan apa yang ada sekarang oleh arus yang tanpa memikirkan dampak lingkungannya. Padahal relevansi adat dari luar dan yang sudah ada di Indonesia tidak semuanya cocok. Prlu cara berpikir atau paradigma sebagai landaan untuk melakukan filter terhadap fenomena lingkungan. Semua itu tergantung pola pikir masing-masing manusianya.
Mau tetap ikut arus tanpa tahu pola landasannya atau melawan arus dengan cara dan konsep pengetahuan yang dimilikinya. Itu cara berpikir yang sudah memiliki jati diri dan landasan pengetahuan kuat. Lalu, apakah bangsa Indonesia selama ini sudah berjalan sesuai dengan pola pikir jati dirinya,yakni Pncasila ataukah justru ikut-ikutan arus karena lupa atau melupakan jati dirinya itu?[A]
KOMENTAR