
Agenda rutin tahunan umat Islam, Idul Adha, tidak jauh-jauh dari serangkaian kegiatan yang menyertainya. Seperti halnya ibadah haji dan berkurban. Oleh sebab itu Idul Adha identik dengan hari raya kurban.
Disebut demikian tak ayal karena Idul Adha menjadi hari penyembelihan massal hewan-hewan kurban untuk memenuhi sebagian perintah-Nya. Kesunnahan muakkad membuat umat muslim berbondong-bondong menyiapkan kurban terbaiknya. Berharap hewan sembelihannya menjadi kendaraan melewati sirathal mustaqim. Seperti hadis Nabi yang mengatakan bahwa hewan-hewan kurban itu akan datang pada hari kiamat dengan tanduk, bulu, kuku kaki, bahkan darah yang lebih dulu sampai di sisi Allah sebelum menetes ke tanah.
Sejarah mencatat penyembelihan hewan-hewan kurban ini erat kaitannya dengan kisah haru antara Nabi Ibrahim dan putranya, Nabi Ismail. Tak dipungkiri, kisah ini membuat giris jika saja Allah tidak menukar objek sembelihan. Alih-alih menguji ketakwaan kekasih-Nya, Ibrahim, Ia pun menggelitik kebaktian putra Ibrahim, Ismail.
Bagaimana tidak, setelah bertahun tahun menanti karunia buah hati, Ismail akhirnya lahir dari rahim Siti Hajar. Namun, setelah anaknya menginjak usia remaja turun perintah Allah untuk menyembelihnya. Perintah yang Nabi Ibrahim sadari sebagai wahyu Allah untuknya sebagai seorang Nabi.
Meskipun tidak dapat dielakkan sifat basyariahnya, kesedihan Nabi Ibrahim tidak membuatnya balik kanan menentang perintah Allah. Beliau segera mengutarakan perintah itu kepada anaknya. Petik demokrasi orang tua dan anak nan apik bahkan keputusan antara hidup dan mati. Jawaban Ismail mengejutkan, ia menyatakan kesediaannya untuk disembelih.
"Wahai Ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. InsyaAllah kamu akan mendapatiku termasuk orang yang sabar."
Peristiwa ini menjadi potret bakti seorang anak kepada orang tua. Rasa cinta dan takdzim Ismail kepada orang tuanya mengalahkan egonya untuk menolak. Apalagi Ia tahu bahwa perintah tersebut semata-mata bentuk ketakwaan terhadap Allah.
Bingkai birul walidain seperti ini begitu mencolok ditengah kasus-kasus kekerasan anak terhadap orang tua (filial violence). Seperti kasus pada tahun 2018 lalu di Samarinda, seorang anak menghajar ayahnya sampai babak belur karena dinasehati. Atau hal sepele yang mungkin tidak disadari ketika menolak perintah orang tua dengan cara sarkas, membantah atau bahkan membentak misalnya.
Kasus-kasus tersebut kontras dengan cara Ismail menerima perintah penyembelihannya. Perintah yang lebih besar lebih dari sekedar dinasehati, diminta berbelanja ke pasar atau menyapu halaman. Ismail kecil menunjukkan baktinya pada orang tua meski jika darahnya harus tumpah.
Atas keikhlasan Ismail dan ketakwaan ayahnya, Allah membatalkan penyembelihan Ismail dan diganti dengan perintah menyembelih gibas (kambing). Ini awal mula kesunnahan berkurban di hari raya Idul Adha. Keridhaan Allah menyertai ridha Ibrahim dan anaknya atas perintah-Nya.
Kisah ini menjadi cermin besar untuk berlama-lama mematut diri. Jika ridho Allah dapat diraih dengan ridho kedua orang tua, sampai manakah usaha kita menuju kesana? (Adha)
KOMENTAR