![]() |
Faktualnews.co |
Kesan orang tua atau kakek dan nenek yang membutuhkan bantuan oleh anak atau cucu mereka untuk menggunakan ponsel pintar, laptop, atau kamera selama ini melekat pada masyarakat umum. Anggapan ini di dukung dengan pendapat bahwa generasi milenial lebih mahir dalam penggunaan teknologi.
Akan tetapi, pada akhir Juni 2017 lalu, jurnal Teaching and Teacher Education mempublikasikan sebuah laporan penelitian yang menyebutkan bahwa digital native itu tidak pernah ada. Anggapan mengenai anak milenial lebih paham akan teknologi ternyata hanya mitos belaka. Ini membuktikan secara ilmiah, tidak ada orang yang cerdas informasi begitu saja hanya karena dia tidak mengenal dunia yang bukan digital.
Dikutip dari The Guardian, 'digital native' merupakan istilah yang menggambarkan anak-anak atau pemuda yang tumbuh di era digital. Istilah ini menganggap mereka mampu memproses beberapa sumber informasi secara kognitif. Selain itu, mereka juga mampu melakukan beberapa pekerjaan dalam satu waktu.
Seorang pendidik yang menuliskan esai tentang digital native, Marc Prensky, berpendapat bahwa para pendidik dan dunia bisnis harus segera menyesuaikan diri dengan generasi baru ini. Akan tetapi, penulis jurnal Teaching and Teacher Education yang juga merupakan dosen psikologi pendidikan Universitas Terbuka di Belanda, Paul Kirscher, beranggapan bahwa digital native malah merusak dan tidak membantu cara anak belajar.
Penelitian lain, dalam laporan European Computer Driving Licence (ECDL) Foundation pada tahun 2015, dengan judul The Fallacy of the 'Digital Native': Why Young People Need to Develop their Digital Skill, mendukung pernyataan sebelumnya. Tertulis dalam laporan tersebut, generasi milenial tidak dapat membangun keahlian digital tanpa latihan dan pendidikan. Hal yang sama juga akan terjadi pada generasi yang lebih tua.
Damien O'Sullivan, CEO ECDL Foundation, membantah anggapan mengenai generasi milenial yang dapat sukses tanpa pendidikan dan pelatihan yang benar dalam keterampilan digital. Ia mengatakan, yang membedakan antara mereka hanyalah untuk apa mereka menggunakan ketrampilan digital tersebut, untuk gaya hidup atau penggunaan di tempat kerja.
Pada dasarnya, anggapan 'digital native' bukan menjadi masalah apabila hanya digunakan sebagai jargon iklan bagi pemuda di bawah usia 30 tahun. Akan tetapi, hal ini berbeda jika sampai mempegaruhi segalanya. Baik dari segi kurikulum pendidikan, maupun cara perusahaan membentuk lingkungan kerja mereka.
Alangkah lebih baik bila kita mendefinisikan kembali makna generasi. Jean Twenge, dosen Psikologi dari San Diego State University dalam laporan The Conversation menyatakan setiap generasi memiliki pandangan serta kebiasaan yang berbeda mengenai dunia. Secara kognitif, orang yang belajar tidak akan berubah dengan cepat, akan tetapi membutuhkan proses. [Devia]
KOMENTAR