Judul Buku: Agama Ageming Aji; Menelisik Akar Spiritualisme Jawa
Penulis: Asti Musman
Penerbit: Pustaka Jawi Jogjakarta
Tahun Terbit: 2017
Tebal: IX + 192 halaman
|
Salah satu Walisongo yang sering menggunakan metode dakwah tersebut yaitu Sunan Kalijaga. Beliau memasukkan ruh-ruh Islam ke dalam wayang Kayon. Dalam buku Agama Ageming Aji ini, Kayon menjadi gambaran simbolis dari mustaka masjid. Jika gambar Kayon dijungkirkan (di balik dari atas ke bawah) akan menyerupai jantung manusia. Falsafah Islam menunjukkan bahwa jantung atau hati manusia harus selalu berada di dalam masjid karena masjid adalah rumah Allah.
Dalam menjalankan ibadah di masjid, hati manusia selayaknya sudah berada di dalamnya. Sebagai sarana dialog dengan Allah, hati harus dijaga agar tidak dikuasai oleh hawa nafsu. Sehingga dalam beribadah seperti salat atau mengaji, terjadi kekhusyukan dan merasakan kedekatakan dengan Pencipta Alam.
Begitulah falsafah keislaman yang ingin disampaikan Sunan Kalijaga melalui wayang Kayon. Hal itu bertujuan agar masyarakat Jawa meresapi setiap ritual keagamaan yang akan dijalankan. Maka wajar jika masyarakat Jawa zaman dahulu memiliki rasa spiritualisme yang sangat kuat.
Dalam berketuhanan, mereka mengenal istilah sembah roso dan manunggaling kawula gusti. Yakni sebuah proses penghayatan hakikat beribadah demi terciptanya kesatuan antara jiwa hamba dengan Zat Yang Maha Kuasa. Sehingga akan timbul rasa penghayayan tentang hakikat kehidupan dalam menjalankan syariat agama.
Tetapi di zaman modern ini, seiring dengan pesatnya arus globalisasi, nilai spiritualitasme masyarakat Jawa semakin terkikis. Menjalankan syariat agama hanya sebagai formalitas belaka. Kita dapat melihat fenomena sekarang, orang-orang mempercantik masjid yang kemudian digunakan sebagai tempat wisata. Contohnya Masjid Agung Jawa Tengah dan Masjid Kapal Semarang yang menjadi primadona wisata masyarakat Jawa Tengah, khususnya Semarang. Padahal masjid adalah rumah Allah yang seharusnya dijadikan tempat beribadah.
Sementara saat ini, orang berbondong-bondong pergi ke masjid yang bernuansa tempat wisata dengan niat lain, tidak sepenuh hati untuk beribadah kepada Allah. Tetapi sangat antusias untuk rekreasi dan berfoto-foto dengan smartphone canggihnya. Bahkan saat mengerjakan salat, terkadang hanya sebatas menggugurkan kewajiban, tanpa meresapi makna dan hakikat salat tersebut.
Kondisi ini tidak relevan dengan nilai-nilai keluhuram yang dibangun Sunan Kalijaga dalam falsafah wayang Kayon. Semangat spiritualisme tidak dapat terlihat saat ini. Masjid sebagai tempat sakral dalam beribadah seolah beralih fungsi menjadi tempat hiburan belaka. Padahal dalam beribadah, selayknyalah harus dijalankan dengan penuh peresapan dan kekhusyukan.
Buku ini menggambarkan tentang semangat beribadah masyarakat Jawa pada zaman dahulu. Bahwa dalam menjalankan syariat agama, mereka mempunhyai rasa spiritual yang kuat. Karena dengan hal itulah kita dapat mendatangkan Tuhan ke dalam diri kita. Tetapi berbeda dengan sekarang, nilai-nilai spiritualisme yang dimiliki masyarakat Jawa semakin terkikis arus zaman. [Nada]
KOMENTAR