![]() |
gambar: www.beyondcareersuccess.com |
Berdasarkan pengamatan penulis, penggambarannya begini, generasi tua kampus bukan tidak mampu dalam menyelesaikan tugas akhirnya. Hanya saja, tingkat efektifitas rasa malas menunggu dan bertemu dengan dosen pembimbing menjadi momok besar yang cenderung menurunkan semangat. Di samping itu, tentu yang tidak banyak diketahui oleh generasi muda kampus dari kesibukan personal maupun komunal para mahasiswa semester tua tersebut. Misalnya saja, ada sebagian dari mereka yang telah mendapatkan pekerjaan sampingan guna mengamankan kebutuhan perut dan mulut mereka.
Baca Juga: 9 Kelakuan Mahasiswa Ketika di Dalam Kelas
Begitu juga ada yang memegang teguh teori kitab pesantren, bahwa ada syarat dalam mendapatkan keberkahan ilmu, yaitu proses panjang dalam mencari ilmu. Bisa saja poin terakhir ini dipahami sebagai bentuk penghormatan kepada ilmu. Akhirnya mereka selesaikan masa kuliahnya sampai semester terakhir dan tentunya mendapatkan restu para dosen yang menghendaki mahasiswa seperti ini untuk diwisuda secepatnya.
Nah, kalau meminjam istilahnya Sigmund Freud, filsuf yang terkenal dengan teori psikoanalisanya, hal-hal yang diungkapan di atas, bisa saja menjadi sebuah mekanisme bertahan (reasoning) dalam mengamankan dirinya dari serangan verbal para junior. Sekalipun mereka itu juga menyadari betapa sia-sianya anggaran dari rumah untuk sekadar mendapatkan gelar mahasiswa abadi.
Namun, ada hal yang lebih substansial untuk disoroti dari fenomena gojlokan ini, banyak fakta berkembang adanya dinamika hukum karma yang berlaku. Siapa saja yang dulunya sering mengejek seniornya karena enggak segera wisuda, akan datang suatu masa, manusia yang demikian juga akan mengalami kebuntuan serupa dengan seniornya dulu. Ini bukan sumpah serapah, hanya saja ada fenomena demikian yang berkembang di lingkungan kampus. Tetaplah berhati-hati, hakikatnya manusia tidak dikehendaki tahu takdirnya di masa mendatang. [kal]
KOMENTAR