gambar: kbr.id |
Indonesia yang mempunyai banyak keberagaman dari suku, budaya, agama, bahasa, dan yang lainya memang selayaknya saling merawat agar tidak menimbulkan konflik. Namun di tahun politik ini, isu agama tersebut malah sengaja dibuat hanya untuk kepentingan politis semata tanpa berpikir panjang dengan dampak yang akan terjadi nantinya. Akibatnya sensitifitas masyarakat terhadap politik menjadi sangat kuat.
Agama telah menjadi sumbu pemantik pertikaian dalam kurun waktu menginjak tahun politik di Indonesia. Beberapa oknum memilih jalan pintas menggunakan isu agama ini untuk memenangkan maupun menjatuhkan pihak lawan. Melalui jalan yang cukup ampuh yaitu media sosial, isu agama terus dibuat untuk menggiring opini publik. Linimasa mewadahi opini publik yang mewarnai dunia daring, dan paling ramai yakni twitter.
Pada tanggal 22 November 2018 lalu misalnya, hashtag #GraceAdalahKami menjadi trending topic di Twitter. Grace, ketua salah satu partai politik angkat bicara bahwa dalam acara ulang tahun partainya bahwa tidak akan ada lagi perda-perda syariah. Sehingga, menghantarkan Grace dalam pusaran kasus penistaan agama. Hal itu menjadikan sorotan dari banyak golongan yang mulai menujukan kebolehannya dalam berargumen secara virtual. Dan masyarakat luas atau yang disebut dengan netizen, pun menyambut dengan begitu antusias hashtag trending #GraceAdalahKami.
Banyak masyarakat termakan isu dan dengan mudahnya saling menyalahkan agama lain, sehingga menyulut emosi satu sama lainnya di media sosial. Kolom komentar media sosial menjadi ruang perdebatan sengit netizen yang tidak ada habisnya membahas agama mana yang terbaik bagi mereka. Akhirnya menimbulkan dampak bagi para generasi milenial. Mereka menjadi mudah fanatik terhadap suatu ajaran atau keyakinan tertentu. Tentunya dalam hal ini fanatik terhadap ajaran politik yang dibalut oleh agama. Padahal, nenek moyang kita memberikan petuah agar tidak fanatik terhadap apapun, kartena segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik, termasuk dalam urusan politik.
Saat kita sudah fanatik terhadap salah satu partai yang terus membaluti diri dengan agama, maka percayalah sudah pasti akan berat sebelah, karena sudah menutup telinga, mata, dan pikiran dari apapun. Kita akan secara langsung buta pada kenyataaan dan tidak mau menerima informasi dari pihak luar, karena agama yang membalut politik dinyatakan sudah mutlak baik tanpa cacat sedikitpun.
Penggunaan identitas agama ini dipandang semakin kuat sejak tahun 2014 setelah berpengaruhnya media sosial seperti Facebook, WhatsApp, Instagram, Twitter dan masih banyak lagi. Strategi politik seperti ini menjadikan masyarakat yang dulunya toleran, menjadi keras karena terpicu oleh hoaks yang sangat masif.
Melihat persoalan demikian yang begitu rumitnya, alangkah baiknya jika kita belajar dari mendiang Gus Dur yang lebih banyak bicara soal keberagaman. Kita harus tetap waspada dengan persoalan yang mungkin saja mengancam dan memecah belah Indonesia.
Gus Dur selalu mengingatkan kita untuk tetap bersatu. Kalau tidak bisa menjaganya, akan sangat berpengaruh bagi generasi mendatang. Pasalnya Indonesia menjadi negara besar yang terdiri dari berbagai agama dan kepercayaan, belasan ribu pulau, ribuan suku bangsa, dan ratusan etnis dan bahasa daerah. Puncaknya bahwa kebhinekaan menjadi takdir Indonesia. Generasi milenial sudah sepatutnya harus tetap bersatu dan berdiri teguh mewujudkan cita-cita bangsa. [Yenpu]
KOMENTAR