gambar: www.bernas.id |
Hal tersebut semakin diperkeruh dengan akan dilaksanakannya Pemilihan Presiden (Pilpres) pada 17 April mendatang. Dilansir dari The Indonesia Institute, menurut Amnesty Internasional di Indonesia praktik politik dengan menggunakan ujaran kebencian dilakukan melalui berbagai cara salah satunya, ujaran kebencian berbasis sentimen agama yang mulai menguat ketika Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta tahun 2017 lalu.
Selain itu, Amnesty Internasional Indonesia juga memprediksi, ujaran kebencian masih akan terjadi pada 2018-2019. Seperti diketahui, pada tahun 2018 lalu telah diselenggarakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di 171 daerah. Sementara pada tahun 2019 akan digelar Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden dan wakil Presiden (Pilpres) (Kompas.com, 22/2/19). Sependapat dengan prediksi tersebut, bisa dipastikan agenda kontestasi politik dengan ujaran kebencian akan meningkat. Terutama untuk menjatuhkan dan menyerang lawan politik, ujaran kebencian tentu masih ampuh.
Salah satu calon anggota legislatif di Palu, Sulawesi tengah, dilaporkan kepada Tim Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) karena dianggap telah melanggar Undang-Undang pemilu, agar tidak berkampanye di tempat ibadah. Seperti yang dilansir Tempo.co (03/01/19) kegiatan tersebut telah ditindak tegas, dan diberikan peringatan kepada semua pihak agar tidak mengulanginya.
Melihat maraknya hal tersebut, Bawaslu ikut mengingatkan kepada para politisi agar tidak berkampanye di dalam tempat ibadah. Seperti yang dilansir Kompas.com (26/09/12) salah satu komisioner Bawaslu, Muhammad Afif, tidak seluruh aktivitas Pemilu yang dilakukan di tempat ibadah bisa dikatakan sebagai kampanye. Kampanye, merupakan kegiatan yang menyosialisasikan visi misi peserta pemilu, serta citra diri.
"Kampanye kan ada unsur-unsurnya. Tidak setiap kegiatan di masjid juga kampanye, kan begitu. Nah itu yang kita lihat. Unsur-unsurnya, visi misinya, dan lain lain," tutur Afif
Melihat maraknya kampanye dengan ujaran kebencian bahkan hingga di tempat ibadah sekalipun, para politisi seakan tidak peduli dengan dampak yang akan terjadi di masyarakat. Konflik hingga pertumpahan darah bisa saja menjadi sajen atas tujuan pihak yang berkepentingan itu. Apakah hal seperti ini patut dilakukan?
Kebencian:Kehancuran
Kebencian dan ketegangan yang terjadi di masyarakat saat ini seakan tidak akan hilang begitu saja. Salah satu Filsuf aliran Psikoanalisis, Freud, pernah mengatakan bahwa "An Ego state that wishes to destroy the source of its unhappiness." Kondisi mental yang ingin menghancurkan segala yang tidak menyenangkan. Di mana, ketika seseorang atau masyarakat sudah tidak nyaman dengan sesuatu, maka dia akan berusaha untuk menghancurkannya.
Menurut Fakhurddin Faiz, ada tiga perspektif yang menyebabkan hal tersebut. Pertama, natural, bahwa manusia normal termasuk binatang punya watak agresif dalam rangka mempertahankan kelompoknya. Ini adalah insting dan sifat natural. Mereka beranggapan bahwa seseorang kadang akan mengganggu keamanan dirinya, sehingga akan menimbulkan bibit-bibit kebencian kepada mereka yang mengganggu kenyamanan kita. Itu adalah Fitrah (Insting).
Selanjutnya, perspektif psikologi, di mana kebencian adalah pengalaman individual sejak kecil. Dan terbentuk karena pengalaman dan pengamatan kita ketika kecil. Sehingga menimbulkan kebencian kepada sesuatu atau seseorang itu.
Dalam perspektif Sosiolog, kebencian tidak hanya dari pengalaman, tapi juga struktur sosial (Pengalaman Sosial). Bahwa struktur sosial juga sangat berpengaruh terhadap kadar kebencian dan ketegangan seseorang. Maka, tidak heran ketika ada orang berjenggot, memakai jubah, dan membawa tas membuat kita was-was.
Hal tersebut dianggap wajar menurut perspektif ini, karena struktrul sosial membuat stigma bahwa manusai seperti itu identik dengan teroris dan radikal. Walaupun belum tentu demikian.
Dalam Theory Doing-Difference bahkan dijelaskan bahwa urusan identitas dianggap sangat mengancam eksistensi kelompok yang lain. Terutama mereka yang berbeda pandangan. Keadaan ini jelas dirasakan oleh masyarkat kita saat ini. Mereka yang mempunyai ritual berbeda dengan yang lain, akan dianggap mengancam dan harus dimusnahkan. Bisa jadi, pertentangan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyyah tentang ziarah kubur merupakan salah satu wujud nyata akan bahaya benih kebencian yang lahir di masyarakat.
Benih kebencian yang tumbuh di masyarakat saat ini tentu sangat berbahaya. Melihat sejarah, kebencian Hitler pada kaum Yahudi tentu diawali dengan beberapa faktor. Mulai dari keluarga, lingkungan, atau bahkan pengalaman buruk Hitler bersama orang Yahudi.
Benih kebencian yang tumbuh dalam diri Hitler bahkan menjadi alat pembunuh masal mengerikan. Ia dijuluki Holocaust karena membunuh banyak kaum yahudi waktu itu. Tanpa belas kasihan, Hitler membakar orang Yahudi yang dikunci dalam gedung, dan menyaksikan mereka dilahap api bersama bangunan. Kebencian Hitsler mengalahkan rasa kemanusiaannya.
Kisah sang Holocaust bisa saja terjadi di Indonesia. Kebencian yang terus dipupuk, akan menjadi "inferno" bagi bangsa ini. Masyarakat Indonesia membunuh saudaranya sendiri. Apakah ini ajal bangsa kita?
Ideologi Kebencian
"Hari ini semua konflik sumbernya cuma kebencian" [Niza Yanay, The Ideology Of Hetred]
Niza Yanay dalam bukunya menjelaskan, konflik saat ini adalah bentukan rasa benci dari manusia. Visi mereka pun jelas, menganggap orang yang berbeda dengan pemikiran mereka harus dihancurkan. Rasa kebencian itu kemudian menguat dan semakin mengkristal menjadi sebuah ideologi. Ketika sudah menjadi sebuah paham, bahkan jalan hidup, hal ini tentu akan sulit untuk diubah.
Jean Paul Sartre Filsuf eksistensialis pernah berkata, "orang lain adalah neraka". Menurutnya, keberadaan manusia lain barulah berarti, ketika seseorang menyadari keberadaannya, yakni ketika pribadi lain tersebut menjadi tampak bagi dirinya, dan tidak sebelumnya.
Sartre menjelaskan, keberadaan manusia lain juga membutuhkan orang atau kelompok untuk dijadikan objek atau common enemy. Hal ini perlu dilakukan agar eksistensi keompoknya dianggap berpengaruh (look of hatren).
Sartre berpendapat bahwa kehidupan ini merupakan pertarungan saling mengobyekan (intimadasi) satu sama lain. Karena manusia tidak ingin menjadi obyek, maka dia akan menjadi subyek yang lainnya. Itulah fenomenologi kebencian.
Kenapa kebencian menjadi modus dalam fenomenologi kebencian? Itu karena manusia ancaman untuk eksistensi manusia yang lain. [Abdi]
KOMENTAR