Beberapa waktu lalu, tepatnya tanggal 15 April 2019, beberapa titik di kampus tiga UIN Walisongo dipenuhi spanduk yang bertuliskan “Masalah belum usai, rektor sudah santai. #mahasiswa bisa apa”, “Pemilihan rektor? Mahasiswa bisa apa?”, “Adakan debat calon rektor”, “Kapan debat calon rektor?”, “Rektor untuk siapa?”, dan “Rektor untuk mahasiswa/menteri”. Spanduk-spanduk ini dibuat oleh Keluarga Besar Mahasiswa Walisongo (KBMW).
Sepertinya, spanduk-spanduk ini dibuat karena ketidakpuasan atas mekanisme pemilihan rektor yang tidak melibatkan mahasiswa di dalamnya. Anggota KBMW, Muhammad Nian menjelaskan alasan kenapa mereka melakukan aksi tersebut. Menurut mereka, mahasiswa mengalami dampak langsung atas rektor yang terpilih nantinya.
“Tujuannya untuk mengkritisi terkait pemilihan rektor yang akan dilaksanakan oleh pihak kampus. Dengan harapan, adanya andil dari mahasiswa,” ungkapnya (Amanat.id, 18/04/19).
Menanggapi aksi tersebut, ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa tingkat Universitas (DEMA-U), Priyo Ihsan Aji dalam akun Twitter pribadinya mengunggah foto spanduk yang dipasang oleh KBMW. Dalam cuitan yang diunggah pada tanggal 15 April ini diberi caption "Pemilihan Rektor perlu diadakannya uji publik kepada seluruh Mahasiswa, seperti dibuatkannya forum debat untuk Calon Rektor". Selain caption, Priyo juga membubuhi tanda pagar (tagar) yang bertuliskan "#dramacalonrektoruinws”.
Pada hari yang sama, tagar ini juga menghiasi akun Twitter resmi DEMA-U. Tagar ini mendapatkan 18 like dan lima kali retweet. Antara spanduk dan cuitan sama-sama menuntut untuk melibatkan mahasiswa dalam pemilihan rektor periode 2019-2023. Namun, apakah mahasiswa memang memiliki peran dalam pemilihan rektor?
Dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) terbaru yakni Nomor 68 Tahun 2015 menjelaskan, penetapan dan pengangkatan rektor dilakukan langsung oleh Menteri Agama, bukan lagi melalui senat universitas secara voting. Di dalam PMA ini juga memuat mekanisme pemilihan, yang mana tanpa ada andil apapun oleh mahasiswa di dalamnya.
Seperti yang tertuang pada PMA Nomor 68 Tahun 2015 pasal 4 sampai pasal 8 yang menjelaskan tahapan pengangkatan rektor beserta rinciannya, yakni pengangkatan rektor dilakukan melalui empat tahapan. Pertama, penjaringan bakal calon yang dilakukan oleh panitia yang dibentuk oleh rektor dan bersifat terbuka bagi bakal calon yang terkualifikasi. Penjaringan ini dilakukan selama empat bulan sebelum masa jabatan rektor sebelumnya berakhir. Kemudian hasilnya diserahkan kepada senat sebagai bahan pertimbangan.
Kedua, senat memberkian pertimbangan kualitatif terhadap calon rektor meliputi aspek moralitas, kepemimpinan, manajerial, kompetensi akademik, dan jaringan kerja sama yang didiskusikan melalui rapat senat dan diselenggarakan secara tertutup. Pemberian pertimbangan calon rektor ini dianggap sah apabila rapat dihadiri minimal dua pertiga dari seluruh anggota Senat untuk dilaporkan kepada Menteri Agama.
Ketiga, proses penyeleksian. Jika menteri sudah menerima laporan tersebut, selanjutnya membentuk Komisi Seleksi yang terdiri dari ketua dan anggota berjumlah minimal tujuh orang (harus ganjil), untuk melakukan uji kepatutan dan kelayakan terhadap calon rektor. Bakal calon rektor yang diajukan komisi kepada Menteri Agama ini maksimal berjumlah tiga orang. Terakhir, penetapan dan pengangkatan menjadi hak prerogratif menteri.
Baca Juga : 6 Profesor yang Telah Mendaftarkan Diri Sebagai Bakal Calon Rektor UIN Walisongo
Dari keempat tahapan mekanisme dalam pengangkatan rektor tersebut, terlihat jelas bahwa pihak-pihak yang terlibat ialah para birokrat dan tidak ada campur tangan mahasiswa sama sekali. Peraturan sudah dikukuhkan dan rangkaian prosedural wajib dijalankan.
Meskipun, penetapan PMA tersebut sempat mendapat penolakan dari berbagai pihak karena dianggap terlalu tertutup dan seakan otoriter, bahkan ditakutkan bisa menjadi ladang "main" di belakang. Akan tetapi, seharusnya semua warga kampus mengetahui mekanisme ini dan bertindak sesuai kapasitas juga berkualitas.
Kritis atau Pragmatis?
Menjadi hal yang sangat krusial diketahui juga ketika KBMW dan DEMA yang terlabel mewakili suara warga kampus, terkhusus mahasiswa UIN Walisongo. Mahasiswa memang memiliki peran sebagai agent of control, terutama dalam mengawal kebijakan yang berdampak bagi mahasiswa dan kampus. Akan tetapi, dalam melempar kritikan, harus berdasar pemahaman atas peraturan dan medan.
Lantas, apakah aksi yang dilakukan oleh KBMW dan Dema-U ini benar-benar sudah melewati kajian peraturan dan peta sistem yang ada? Jika sudah, kenapa spanduk-spanduk tersebut bisa terpasang menghiasi kampus? Jika belum, ke mana saja mereka selama ini, kok sampai tidak tahu peraturan?
Terlepas dari tindakan yang dilakukan oleh KBMW dan Dema-U, PMA No. 68 Tahun 2015 memang perlu kajian yang lebih lanjut terkait apa yang melatarbelakangi dan dampak apa yang akan muncul oleh adanya peraturan ini. Akan tetapi untuk melakukan kajian tersebut dan menyuarakan kritikan, tidak bisa dilakukan atas dasar pragmatisme semata. [Adha]
Artikel Terkait:
1. UIN Walisongo Buka Pendaftaran Calon Rektor Periode 2019-2023, Ini Syaratnya
2. Guru Besar UIN Walisongo Bertambah, Rektor Targetkan hingga 30 Profesor
KOMENTAR