![]() |
gambar: pexels.com |
Dalih memberi kemudahan dalam segala aspek, teknologi dengan gesit meracuni otak dan mendoktrin manusia. Kecanggihan dan kepraktisan yang ditawarkan memberi efek candu bagi penggunanya, tidak terkecuali anak-anak. Minat terhadap game online maupun fitur-fitur dalam gawai lebih tinggi dibandingkan mengimajinasikan cerita hebat tokoh-tokoh dongeng.
Indonesia sebagai negeri sejuta dongeng seperti kehilangan telinga dan mata yang setia mendengar dan membaca. Budaya mendongeng yang sejak dahulu menjadi ciri khas, kian kehilangan jiwanya. Gawai beserta anteg-antegnya begitu lincah mengambil alih pola pikir anak-anak tentang dongeng, menjadi sekadar khayalan kosong.
Dahulu anak-anak kecil ramai duduk di pelataran hanya untuk mendengar kisah hebat tokoh dalam dongeng kesukaan, atau setia menunggui ibu bapak bercerita sebelum tidur. Sekarang, anak-anak lebih suka duduk di pojok kamar mengamati gawai. Asik berselancar di dunia maya dan melatih otot jempolnya hingga kebas.
Oleh beberapa orang atau kelompok yang melek pendidikan dan sejarah, dongeng dihadirkan dalam bentuk yang lebih menarik. Saat ini sudah banyak dongeng yang ditransformasikan dalam bentuk animasi dan video. Tujuannya, untuk menarik perhatian dan menggugah minat anak-anak terhadap dongeng.
Sayangnya, kemunculan dongeng-dongeng dalam youtube seperti kehadiran air bersih di tengah banjir, tidak terlihat dan hanyut dalam derasnya arus. Jumlah video dongeng yang diproduksi tidak sebanding dengan gempuran video romansa dan cerita-cerita orang dewasa. Parahnya lagi, cerita-cerita tersebut lebih memikat bagi anak-anak.
Menengok Sejarah Dongeng
Dalam sejarahnya, dongeng selalu muncul dan berkembang di berbagai belahan dunia. Budaya mendongeng menjadi media ampuh menuturkan nilai-nilai moral. Cenderung tidak menghakimi, memberi ilustrasi, dan mampu mengubah seseorang tanpa adanya perintah atau instruksi.
Dongeng 1.001 malam, menjadi salah satu dongeng yang mendunia. Thomas Geider dalam Alfu Lela Ulela: The Thousand and One Nights in Swahili-Speaking East Africa, menyebutkan bahwa dongeng ini sudah berkembang di Persia sejak abad ke-10. Kemudian menerabas ke segala batas negara dan budaya. India, Yunani, Yahudi, Iran, juga Turki menjadi saksi keagungan kisah Scheherazade dan penguasa jazirah Arab hingga Cina ini.
Dongeng memang tidak pernah diam. Terus bergerak dan berkembang. Dongeng diceritakan, menyebar, dan berkembang. Satu versi di satu tempat bisa bermakna sama dengan versi di tempat lain. Tidak hanya mengajarkan olah pikir bagi pendengarnya, dongeng juga merepresentasikan kecerdasan si penuturnya.
Seorang associate profesor di Departemen Antropologi Universitas Durham, Jamie Tehrani, pada tahun 2013 melakukan penelitian dan menemukan 58 cerita berbeda untuk dongeng Gadis Berkerudung Merah. Tersampaikan dalam banyak versi, tetapi nilai moral yang terkandung tetap sama, "patuhilah nasehat ibumu". Bahkan melalui dongeng ini, Tehrani menemukan dongeng sudah dituturkan sejak zaman perunggu, 6.000 tahun lalu.
Begitupun dengan banyak dongeng lainnya. Kemasannya saja bermacam, tetapi maknanya sama. Tidak peduli dari belahan bumi mana dongeng berasal, ia selalu menyimpan kekuatannya sendiri. Kesejajaran ide mendongeng dari berbagai tempat menunjukkan kualitas nalar manusia dalam menggunakan akal budi dalam membentuk masyarakat yang berbudaya dan berperadaban.
Antara Dongeng, Mitos, dan Legenda
Meskipun sama-sama menyampaikan pesan moral, antara dongeng, mitos dan legenda memiliki daya magnetnya masing-masing. Mitos dengan sentuhan magisnya, legenda dengan kekuatan sejarahnya, sedang dongeng dengan khayalan juga hiburannya. Pesan moral dalam dongeng, banyak menarik minat anak-anak karena dikemas dengan kisah yang menggugah, ringan, dan mudah diterima dalam dunia anak-anak.
Menghadirkan kembali dongeng di tengah kepungan teknologi dan informasi memang masih menjadi PR bersama. Tantangannya bukan lagi mengarsipkan dongeng, tetapi bagaimana cara mengemasnya. Sehingga tidak terkesan memaksa dengan jejalan pesan moral yang menggurui.
Indonesia dengan keberagaman budayanya, tentu menampilkan ciri tersendiri dalam menghadirkan kisah dongeng. Kearifan lokal dan kekuatan tradisi yang berkembang, melahirkan sinergi yang kuat dalam membentuk jiwa bangsa. Nilai-nilai tersebut tidak seharusnya tenggelam oleh budaya populer, terlebih sekadar bercerita hanya untuk tetap eksis. Monoton dan membosankan. Lantas, di manakah kini negeri sejuta dongeng itu berada? [Ainun]
KOMENTAR