
Pada 28 Februari 2019 lalu, telah rilis film Dilan 1991 yang disutradarai oleh Fajar Bustomi dan Pidi Baiq. Pembuatan film tersebut berdasarkan novel Dilan 1991 karya Pidi Baiq yang sukses di pasaran. Banyak dari milenial Indonesia yang tak sabar menunggu tayangnya film remaja bernuansa romance itu. Mulai dari membuat story tentang trailernya dengan caption yang "alay" hingga mengedit foto berpelukan dengan Dilan. Dari film Dilan 1990 hingga Dilan 1991, film Dilan sangat berpengaruh kepada remaja milenial Indonesia, terlihat dari gaya gombal kaula muda yang sedang jatuh cinta, fashion yang dikenakan, hingga motor CB 100 yang kembali menjadi idaman.
Antusias kaum milenial Indonesia pada film ini sangatlah menakjubkan, terlihat dari banyaknya penonton yang hampir mencapai 5 juta. Film ini termasuk film tersukses dan terlaris di Indonesia. Berbicara tentang antusiasme film Dilan 1991, Gubernur Jawa Barat, Ridwan kamil bahkan membangun Dilan Corner di area Gor Saparua yang ada di Jl. Banda No. 28, Citarum, Bandung Wetan, Kota Bandung.
Gubernur yang biasa dipanggil Kang Emil ini menjadi salah satu penggagas pembangunan Dilan Corner. Pada hari Minggu, 24 Februari 2019, Kang Emil bersama Menteri Pariwisata Arief Yahya dan para pemain film Dilan 1991 secara simbolis melakukan peletakan batu pertama tanda dimulainya pembangunan Dilan Corner, di area Gor Saparua (Detiknews, 9/3/19). Alasan Kang Emil membangun ini adalah sebagai tempat ajang literasi film dan karya sastra. Selain ke dua hal itu, juga bisa sebagai tempat nongkrong anak-anak muda.
Pembangunan Dilan Corner ini, menuai banyak kontra dari berbagai macam golongan. Banyak aspek yang perlu dipertimbangkan untuk membangun tempat semacam ini. Tidak hanya sekadar untuk memuaskan kaum pencinta Dilan. Sangat perlu memperhatikan seberapa besar manfaat dan madaratnya pembanguna tempat itu.
Wakil DPRD Jabar, Irfan Suryanagara berpendapat bahwa pembangunan itu butuh perencanaan yang matang. Menurutnya, pembangunan itu harus dibicarakan lebih seksama. Perlu mendengarkan pendapat budayawan yang kritis, supaya ada jalan keluar. Karena pada hakikatnya (niatnya) baik, tapi dari sisi budaya kurang baik untuk dipandang.
Pembangunan ini menuai kontra karena tidak adanya kepentingan yang mendesak atau urgen mengenai pembangunan ini. Dalam sebuah proyek pembangunan, pastilah membutuhkan dana yang tidak sedikit, daripada membuang-buang APBD, lebih baik mengutamakan pengembangan pendidikan di Bandung, atau membangun monumen-monumen yang memiliki nilai sejarah.
Mendongkrak Literasi?
Karakter Dilan di film karya Pidi Baiq ini, digambarkan sebagai anak muda yang kurang patut dicontoh, seperti balap motor liar, tawuran, bahkan membangkang kepada guru di sekolah. Tidak ada nilai yang bisa dipetik dalam tokoh Dilan, karena hanya kenakalan remaja dan kisah cinta monyet. Bahkan, tidak ada karakter Dilan yang menunjukkan memberi jasa terhadap kota Bandung. Lalu, apa yang mau dibanggakan?
Melihat dari pembangunan di wilayah ini, Saparua disebut-sebut sebagai homebase band underground kota Bandung. Adanya gelar ini karena Gor Saparua menjadi salah satu tempat penting dalam permusikan. Di tempat ini juga konser-konser besar sukses telah terlaksana, seperti Hollabalo (1994), Bandung Berisik (1995), Bandung Underground (1996), dan Gorong-gorong (1997). Pada era 80-an, Fariz RM, Vina Panduwinanta, juga Cockpit pernah manggung di sana. Melihat dari sejarah pembangunannya ini, Dilan Corner akan mengotori sejarah Saparua dan hanya menjadi Corner tanpa makna.
Ridwan Kamil mengatakan bahwa pembangunan ini untuk menghargai karya Pidi Baiq dan mendongkrak minat literasi warga Bandung. Namun apakah hanya dengan asumsi mendongkrak literasi sudah tepat ? Apakah sudah melakukan riset? Pada bulan Agustus tahun 2016 lalu, ada komunitas literasi, yaitu perpustakaan jalanan yang dibubarkan karena masih aktif hingga larut malam dan menurut pemerintah setempat dapat memicu kegiatan negatif. Lalu, apa yang dimaksud dengan literasi sebenarnya?
Urgen
Dilan Corner ini mungkin nantinya dapat dijadikan destinasi karena banyak sekali kaum milenial yang menggemari tokoh Dilan. Selain itu, tourism milenial Indonesia sudah mencapai 100 juta lebih. Jika dilihat dari realita, untuk berkunjung ke destinasi harus merogoh kocek sesuai yang ditetapkan manajemen destinasi tersebut.
Sebuah tempat bisa dikatakan destinasi juga memiliki beberapaa kriteria, bukan hanya corner biasa atau taman-taman yang hanya memiliki meja dan kursi. Dari situ, akankah jika mengunjungi Dilan Corner nantinya dipunggut biaya? Jika benar seperti itu, akan mengalir ke mana semua pemasukan itu? Apakah akan menambah APBN atau hanya mengisi kantong para petinggi Jawa Barat?
Sebenarnya, ada banyak hal yang perlu diperhatikan terlebih dahulu. Misalnya membangun fasilitas publik yang dapat dimanfaatkan masyarakat. Banyak fasilitas yang urgen dan harus segera dibangun dan dikembangkan, seperti parkir khusus sepeda, untuk mendukung kota yang katanya bebas polusi. Bisa juga untuk membangun pagar jalan, agar meminimalisir penggunaan trotoar bagi pengguna kendaraan bermotor yang tidak tertib. Bukankah itu lebih penting dibandingkan sekadar pembangunan Dilan Corner? [Safira]
KOMENTAR