K.H Hussein Muhammad |
Kiai kelahiran Cirebon 1953 ini, memulai karir pendidikannya dari kakeknya sendiri, KH. Mahmud Thoha. Beliau hidup di tengah-tengah keluarga yang sangat religius.
Kiai Husein kemudian "nyantri" di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri tahun 1873. Sebelum meneruskan pendidikannya ke Al Azhar Kairo Mesir, beliau belajar di Perguruan Tinggi Ilmu Alquran (PTIQ) Jakarta.
Sepulang dari Mesir hingga sekarang, beliau memimpin Pondok Pesantren Dar al Tauhid yang didirikan oleh ayahanda istrinya, KH Ahmad Syathori. Selain itu, beliau juga aktif mengajar kitab di Institute Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon (Nuruzzaman, 2005).
Kiai Husein dikenal sebagai sosok kiai yang getol membela hak-hak perempuan. Sebagai pembelaan terhadap perempuan, pada bulan November 2000, beliau mendirikan Fahmina Institute. Di tahun yang sama juga, ia mendirikan Pesantren Pemberdayaan Kaum Perempuan ''Puan Amal Hayati" serta Forum Lintas Iman.
Tiga tahun kemudian, beliau tercatat sebagai tim pakar Indonesian Forum of Parliamentarians on Population an Development. Lalu, pada tahun 2005, beliau bergabung sebagai pengurus The Wahid Institute Jakarta. Selain itu, beliau juga tercatat sebagai anggota National Board of International Center of Islam and Pluralism (ICIP).
Kiai Husein merupakan pengusung yang konsisten dengan prinsip-prinsip dasar Islam, yaitu keadilan, musyawarah, menghargai kemajemukan, toleran terhadap perbedaan, dan perdamaian. Maka tak heran jika beliau dikenal sebagai sosok yang sangat memperjuangkan kesetaraan gender. Bahkan, beliau adalah satu-satunya Kiai Feminis Indonesia yang tak pernah lelah membela perempuan.
Tindakan beliau dalam membela perempuan diawali ketika beliau sadar atas penindasan terhadap perempuan sewaktu diundang di acara seminar tentang perempuan dalam agama-agama. Sejak itu Kiai Husein mengetahui ada masalah besar yang dihadapi dan dialami perempuan. Dalam kurun waktu yang panjang, kaum perempuan mengalami penindasan dan eksploitasi. Dari situ pula Kiai Husein diperkenalkan dengan gerakan feminisme, yang berusaha dan memperjuangkan martabat manusia dan kesetaraan gender (Muhammad, 2016).
Sosok yang Aktif Menulis
Semangat Kiai Husein dalam memperjuangkan kesetaraan gender tidak hanya melalui diskusi, halaqah, maupun seminar. Namun beliau juga menulis sejumlah artikel maupun buku dari hasil penelitiannya terkait isu-isu gender dan perempuan. Beliau menggunakan rujukan kitab-kitab klasik dalam memahami dan menafsirkannya.
Kiai Husein memang sosok yang aktif dan gemar menulis. Sejumlah karyanya banyak dijadikan rujukan oleh intelektual muslim dalam meneliti Islam dan Kajian gender di Indonesia. Buku pertamanya yang berjudul ''Fiqih Perempuan, Refleksi Kiai Atas Wacana Agama dan Gender" menjadikan beliau terkenal di dunia. Hal itu karena beliau orang pertama yang berani berbicara serta menulis tentang islam dan gender dalam pendekatan kritis dan transformatif.
Karya lain beliau, yang juga masyhur dikalangan masyarakat, misalnya Islam Agama Ramah Perempuan, Pembelaan Kiai Pesantren, Spiritualitas Kemanusiaan, Upaya membangun Keadilan, Islam dan Negara: Pergulatan Identitas dan Entitas, dan masih banyak lagi (Muhammad, 2016).
Dalam salah satu karyanya, beliau mengatakan bahwa perempuan sudah seharusnya diberikan peran untuk melanjutkan hidupnya, khususnya hak kesetaraan, keadilan, dan kebebasan perempuan. Karena, jika dikaitkan tujuan pendidikan Islam termasuk pendidikan jasmani misalnya, didasarkan pada pembebasan bentuk-bentuk eksploitasi atau kekerasan seksual terhadap perempuan dalam bentuk fisik.
Pemikirannya yang kritis dan inovatif pada akhirnya mengantarkan beliau memperoleh banyak penghargaan di tingkat nasional maupun internasional. Di tingkat internasional, Kiai Husein pernah mendapat penghargaan dari Pemerintah Amerika Serikat untuk Heroes to End Modern Day Slavery, dan juga namanya tercatat dalam The Most Influential Muslim yang diterbitkan oleh The Royal Islamic Strategic Studies Center tahun 2010 sampai 2013 secara berurutan.
Selain dikenal Kiai Feminis, Kiai Husein juga dikenal sebagai pejuang dialog antar iman, seperti yang dilakukan Gus Dur. Buku hasil karyanya yang diterbitkan umumnya mengangkat tema sufisme, dialog antar agama, dan kebangsaan. (Laily)
KOMENTAR