sumber: internet |
Dekadensi moral dan lemahnya pendidikan karakter telah lama menjadi momok bangsa ini. Contoh kasusnya yakni pencabulan yang dilakukan oleh guru SD kepada muridnya di Depok, Jawa Barat (6/6/2018 Tribunjateng).
Dilansir dari Kompas.com, kasus asusila serupa juga dialami siswa SMPN 6 Jombang. Dengan dalih praktik ruqyah, seorang guru mencabuli 25 siswa sekolah menengah tersebut, dan baru terbongkar 7 bulan kemudian.
Secuil kasus di atas tentu telah menciderai nilai luhur bangsa. Tokoh pendidik sebagai garda terdepan yang jadi panutan dan menjungjung tinggi moralitas, justru menampilkan wajah sebaliknya.
Tindak pelecehan seksual di atas menjadi bukti merosotnya pendidikan moral kita hari ini. Ironi, pendidik yang seharusnya memberikan contoh serta panutan bagi murid-muridnya, malah bertindak jauh dari kata seorang guru.
Ki Hajar Dewantara, bapak pendidikan Indonesia pernah mengingatkan, seorang pendidik haruslah berjiwa ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani (Di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, dan di belakang memberi daya kekuatan).
Guru, sebagaimana yang disampaikan Ki Hajar Dewantara mempunyai berbagai peran. Pertama edukator, mengarahkan peserta didik pada tingkat kedewasaan yang memiliki kepribadian baik. Kedua pengajar atau instruksional, merencanakan progam pengajaran dan melaksanakan progam yang telah disusun. Ketiga pemimpin atau managerial, memimpin dan mengendalikan diri, peserta didik, dan masyarakat yang terlibat. Termasuk di dalamnya menyangkut upaya pengarahan, pengawasan, dan pengorganisasian. Keempat rule model bagi peserta didiknya.
Membangun Kesadaran Moral Para Pendidik
Pepatah lama mengatakan, terlahirnya seorang murid yang baik dan pandai, datang dari seorang pendidik yang cakap. Baik buruknya suatu pendidikan tidak lepas dari instrumen-instrumen yang ada di dalamnya. Pendidikan yang mampu membangun peserta didik yang progresif, tidak lepas dari kultur yang diciptakan pendidiknya.
Untuk menunjang kultur di atas, sebagaimana yang dikatakan Imam al-Ghzali dalam kitab Ihya', dibutuhkan seorang pendidik yang cerdas, berakhlak sempurna, mempunyai kecerdasan dalam mengarahkan kemampuan potensi peserta didik, serta memiliki rasa tanggungjawab. Di samping itu, rasa kasih sayang guru terhadap murid juga harus besar. Sebab, dengan kasih sayang dinilai akan menimbulkan rasa percaya diri dan tentram bagi seorang murid dalam fase pembelajaran.
Seorang pendidik mesti memahami setiap karakter murid-muridnya dan bisa memposisikan dirinya untuk memberikan motivasi serta dukungan moral yang kuat. Ia tidak boleh membiarkan muridnya mempelajari pelajaran yang lebih tinggi sebelum menguasai pelajaran sebelumnya, agar tidak mengalami kebingungan.
Kultur yang baik serta progrsif dalam dunia pendidikan akan tercipta, ketika pendidik mampu membangun kesadaran diri dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sehari-hari. Kesadaran tersebut akan menumbuhkan energi positif sebagai seorang guru. Yakni, terciptanya proses pembelapembelajaran yang mampu mendorong peserta didiknya sesuai potensi dirinya.
Ketika pendidik tampil dengan sikap mengayomi serta mampu menjadi rule model bagi peserta didiknya, akan mampu melahirkan generasi kedepannya agar lebih aktif, kreatif dan produktif. Sebab, pendidikan yang terjadi tidak terpacu pada ilmu pengetahuan saja, melainkan aspek moral yang terbentuk di dalamnya. Sehingga membentuk suasana pendidikan yang nyaman dan mampu membawa Indonesia lebih baik lagi. [M. Bakti Setia Gusti, Pegiat Komunitas Gelora Literasi Walisongo dan Mahasiswa TP 2017]
KOMENTAR