Hal itu ia paparkan sebagai pemateri dalam seminar Nasional yang diselenggarakan Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Ilmu Al-Quran dan Tafsir (IAT) bertajuk "Implementasi dan Tantangan Penafsiran Al-Qur’an terhadap Peran Perempuan”, di gedung Prof. Ahmad Ludjito (auditorium I) lantai 1 kampus I, pada Senin (9/10/23).
Sempitnya sudut pandang tersebut, kata dia, di antaranya penafsiran ayat secara tekstual mengenai peran laki-laki dan perempuan.
“Penafsiran ayat yang tekstual ini menjadikan pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Quran seringkali tidak sesuai konteks, yang pada akhirnya mengakibatkan miskonsepsi dalam memahami ayat tentang gender,” ungkap Buya Husein, sapaan akrabnya.
Pergeseran sudut pandang ini, kata dia, berkaitan dengan perkembangan penggunaan ta'wil yang berubah menjadi tafsir.
Ta'wil, jelas Buya Husein, dapat diartikan sebagai interpretasi Al-Qur’an yang menggunakan sudut pandang yang sangat luas. Sedangkan tafsir, katanya, merupakan interpretasi Al-Qur’an dengan ayat lain atau hadis nabi.
“Pergeseran ta’wil ke tafsir, tafsir hanya menggunakan ayat lain dan hadis nabi untuk memahami suatu teks Al-Qur’an. Padahal Ibnu Jarir Ath-Thabari dalam kitabnya memakai istilah ta’wil dan bukan tafsir, yakni menginterpretasikan suatu ayat Al-Qur’an dari beragam aspek dan perspektif, ” tegasnya.
Baca Juga : LPM IDEA Buka Pendaftaran Kru Magang 2023 Untuk Semester 1 dan 3, Berikut Syarat Lengkapnya
Selain penafsiran Al-Quran, pemateri kedua, Kepala Pusat Studi Gender dan Anak IAIN Kudus, Nyai Nur Mahmudah memberikan materi gender dengan pendekatan analogi dalam istilah masyarakat Jawa, ia menegaskan perbedaan antara gender dan sex.
“Gender itu kalau kita lebih mengenalnya dalam istilah dalam bahasa dan masyarakat Jawa itu sebagai gawen (buatan), sedangkan untuk sex itu ialah gawan (bawaan). Maka dapat dibedakan kalau gender itu buatan atau konstruksi manusia, di sisi lain sex adalah kodrat dan bawaan dari lahir,” ujarnya.
Selanjutnya, ia meluruskan pemahaman narasi tentang kesetaraan gender. Baginya, hal itu bukan berarti menyamaratakan perlakuan antara laki-laki dan perempuan.
“Keadilan atau kesetaraan antara laki-laki dan perempuan itu bukan mengenai penyamarataan, tetapi pada empat unsur APKM: akses, partisipasi, kontrol, manfaat," pungkasnya. [Rep. Jahid/Red. Riska].
KOMENTAR