Gambar: www.nedjelja.ba |
Kewajiban adanya mata kuliah Pendidikan Antikorupsi sudah ada rencana dan mungkin akan segera diketok palu. Sebelumnya kita mengetahui bersama bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) gencar mengupayakan agar mata kuliah pendidikan antikorupsi menjadi salah satu mata kuliah wajib bagi seluruh Perguruan Tinggi di Indonesia.
Upaya yang dikampanyekan KPK juga disambut baik oleh banyak pihak. Tapi tampaknya apakah tidak terlalu terburu-buru untuk meng-iya-kan saja? Atau memang harus seperti itu untuk upaya mengatasi korupsi yang masih jadi momok di negeri ini?
Sebelumnya, upaya pemberlakuan mata kuliah pendidikan antikorupsi memang sudah pernah digadang-gadang oleh Ketua Forum Rektor Indonesia pada tahun 2011 lalu. Jika sebelumnya hanya beberapa perguruan tinggi saja yang sudah ada mata kuliah ini, mungkin nanti pasca kebijakan yang skalanya bersifat nasional, semua kampus di Indonesia harus menerapkan mata kuliah tersebut.
Dalih dari penerapan mata kuliah antikorupsi ini bertujuan untuk menyelamatkan generasi muda dari maraknya perilaku korupsi. Sebab, menurut pemerintah, menghilangkan candu korup masyarakat Indonesia tidak cukup dengan mengandalkan pendidikan budi pekerti saja, akan tetapi harus diikuti dengan mata kuliah khusus. Demikian gambarannya.
Jadi, penulis menegaskan lagi, hal ini dilakukan tujuannya untuk memberantas candu korupsi di masyarakat. Dan hal tersebut seakan menggambarkan dua hal, bahwa koruptor ternyata banyak lahir dari orang-orang terdidik dan kampus di Indonesia akan bunuh diri karena menyepakati kebijakan itu.
Mengapa demikian? Terbukti memang bahwa tidak akan mungkin koruptor yang ada itu adalah orang biasa saja. Para koruptor di gedung pemerintahan sana itu adalah sarjana-sarjana lulusan perguruan tinggi dengan titel yang disandangnya. Kemudian jika benar mata kuliah itu diterapkan namun masih banyak juga kedepannya yang korupsi maka hancurlah kampus yang menerapkan mata kuliah tersebut.
Penulis masih melihat bahwa penerapan mata kuliah antikorupsi hanya akan berhenti pada tataran pembelajaran saja. Di mana dosen akan sekadar menyampaikan materi di kelas, dan tidak ada tindakan atau transformasi nilai apapun setelah itu. Akibatnya, mata kuliah anti korupsi hanya sebatas SKS yang wajib diselesaikan saja. Seperti mata kuliah Akhlak atau Etika yang setelah kuliah selesai banyak juga orang yang menanyakan akhlak dan etika sarjana tersebut.
Apalagi jika melihat dan membaca perihal korupsi di zaman modern seperti sekarang, tanpa ada mata kuliah antikorupsi pun, mahasiswa sudah banyak mengerti tentang korupsi. Mereka bisa mengakses informasi dan pengetahuan apapun dari mana saja, termasuk media massa tentang materi itu. Bahkan dari kecil pun yang namanya mencuri itu tidak diharamkan. Lalu, mengapa tetap menjadi candu? mari kita bahas.
Pengajaran, Karakter, dan Hukum
Penulis menggarisbawahi tiga hal sebagaimana tertulis di dalam sub judul di atas. Bahwa sebagaimana Undang-undang yang lebih penting adalah pengajaran. Seorang guru atau dosen semestinya bisa lebih dari sekadar menyampaikan materi. Tapi juga pengajar, pembimbing, teladan, sumber inspirasi, motivator, dan masih banyak lagi. Ada tranformasi spiritual dan karakter dari dosen yang diberikan kepada mahasiswa.
Guru atau dosen ibarat cermin, yang mana sikap dan perilakunya akan selalu dijadikan contoh. Baik atau buruknya seorang murid, ditentukan oleh karakter seorang guru. Selama masih banyak dosen dan pejabat di kampus yang mengajarkan atau memberi contoh segala sifat korup di lanskap miniatur negara (kampus), maka di sanalah yang seharusnya ada evaluasi.
Bukan hanya dosen atau guru saja. Tentu para politisi dan pejabat pemerintahan juga cermin. Selama masih mengajarkan korupsi dalam hal apapun dan sekecil apapun, maka rantai korupsi tidak akan pernah putus dan akan menjadi candu dan virus abadi bangsa ini.
Kedua yakni karakter. Di dalam membangun karakter bangsa memang tidaklah mudah. Apalagi hal itu sudah mendarah daging dan membudaya di masyarakat dari dulu hingga sekarang. Bahkan ketika orde lama, Soekarno selalu menekankan perlunya pendidikan karakter di pidato-pidatonya. Segala usaha sudah diupayakan untuk membangun karakter bangsa, namun tetap masih belum ada perubahan di dalamnya. Lalu, pada kenyataannya, nampaknya sekarang moral bangsa Indonesia justru semakin merosot seiring perkembangan zaman.
Memang dalam hal karakter ini, segala bentuk usaha, tidak akan pernah ada perubahan jika individu tidak mau mengubah dirinya sendiri. Mengambil teori sosial Weber, bahwa individulah yang mempengaruhi tatanan sosial itu sendiri. Salah jika ada individu yang memiliki hasrat dan karakter merusak, seperti halnya korupsi semestinya langsung diambil tindakan untuk bisa kalah di ruang terkecil itu sendiri. Tentu jika pencontoh bisa baik dan lingkungan mendukung, maka akan sulit ditemui individu yang demikian.
Karakter individu yang merusak tidak pernah lahir dari guru dan lingkungan yang menjunjungtinggi prinsip etis dalam lanskap sosial. Ketika kultur yang bijak tersebut terbentuk, dengan sendirinya kesadaran kolektif untuk tidak korupsi akan menjadi bagian hidup (karakter) individu dan masyarakat.
Namun juga harus dibarengi profesionalisme dan sistem yang benar-benar ampuh. Hal ini untuk menutup segala langkah gerak individu korup yang bisa mempengaruhi dan merusak lingkungan yang sebelumnya aman dari penyakit korupsi.
Ketiga yakni hukum. Ketika hukum dan hakim masih bisa dibeli tentu pemberantasan korupsi akan selamanya menjadi mimpi. Dalam wilayah hukum ini, sanksi kepada koruptor masih kurang tegas dan tidak membuat jera pelaku. Hal tersebut masih menjadi dilema bangsa hingga kini.
Materi kuliah antikorupsi bagi penulis laiknya bumerang. Suatu saat bisa menghantas siapapun yang terlibat di dalamnya. Sedangkan tiga hal sebagaimana yang penulis garisbawahi malah luput dari kacamata para petinggi kebijakan.
Yang pasti, mahasiswa sudah cukup mengetahui materi korupsi itu sendiri. Bukankah sudah saatnya untuk selangkah lebih maju dalam dialektika (praktik) pemberantasan dilema korupsi melalui gerakan sadar nasional bahwa guru dan orangtua tidak boleh mengajari korupsi. Sadar bahwa guru tidak pernah mengajari korupsi sehingga generasi muda pun tidak akan melakukannya. Sadar bahwa pentingnya memperdalam ilmu akhlak dan karakter bangsa, serta sadar bahwa hukum kita masih cacat dalam menghukum tindakan korup selama ini. [Laily]
KOMENTAR