Gambar: www.dream.co.id |
Kemarin malam, saat menghadiri haul Gus Dur ke 9, bersama teman-teman, penulis teringat dengan acara haul atau akhirussanah pondok pesantren yang penulis turut dan rutin menghadirinya. Ada tahlil, sambutan keluarga, mauidhotul hasanah dan temu kangen para santri dan alumni.
Pelaksanaan haul Gus Dur didasarkan pada penanggalan tahun masehi, berbeda dengan umumnya haul kiai-kiai pesantren yang berpatokan dengan penanggalan tahun hijriah. Namun, keunikan itu tak menjadikan suasana haul Gus Dur berbeda dengan haul kiai-kiai pesantren.
Di haul kiai-kiai pesantren, santri dan alumni berkumpul, dari berbagai penjuru, selain untuk (ini yang paling utama) memanjatkan doa dan ngalap barokah (berharap tambahnya kebaikan), juga bertemu dengan kawan sejawat. Istilahnya temu kangen atau reuni.
Yang demikian itu juga terjadi di haul Gus Dur. Penulis melihat, para santri dan alumni Gus Dur, entah mereka yang pernah secara langsung dididik oleh Gus Dur, atau pun tidak, seperti yang belajar dari Gus Dur lewat tulisan, rekaman video, atau pun gepuk tular (dari kabar ke kabar), berjibun memenuhi ndalem (rumah) Gus Dur di Ciganjur Jakarta Selatan.
Seperti laiknya santri dan alumni pesantren, mereka berkumpul sesuai komunitas, atau teman yang dulu biasa nongkrong bareng di pondok, tanpa sinis dengan kelompok nongkrong yang lain. Mereka disatukan oleh cinta kepada Gus Dur.
Cara mereka ngopi dan bercanda dengan melempar gasakan (bahasa jawa, dekat dengan bully, tapi beda. Gasakan adalah tanda keakraban santri). Hanya saja, kalau santri pesantren nongkrongnya di pesantren dan sekitarnya, santri Gus Dur ini nongkrongnya lebih beragam: masjid, pesantren, kampus, komunitas, bahkan tempat beribadat agama selain Islam.
Karena santri-santri dan alumni yang mondok di Gus Dur, tidak terbatas pada komunitas muslim sebagaimana pesantren pada umumnya. Yang turut hadir di haul Gus Dur pun beragam, bukan hanya orang-orang Islam. Semua hadir karena satu hal: cinta dan rindu pada Gus Dur. Jadi tak berlebihan kalau penulis memberi judul tulisan ini dengan "Haul Gus Dur: Haul Kiai Bangsa"
Semua berbagi cerita kenangan dengan Gus Dur. Mengingat perjuangan dan impian Gus Dur, bukan hanya untuk dikenang tapi juga diteruskan, bahkan dilampaui.
Lalu apa impian Gus Dur sebenarnya? Dalam arsip majalah Tempo edisi Desember 1998, yang penulis temukan saat menginap di kantor Gusdurian Yogyakarta, ketika ditanya apa sebenarnya impiannya, Gus Dur menjawab:
"Guru bangsa. Saya ingin jadi guru bangsanya Indonesia. Itu saja. Saya tidak ingin jadi yang lain. Kalau sekarang saya berkiprah di politik, karena panggilan".
Zaim Ahya, founder takselesai.com
KOMENTAR