![]() |
“Kekerasan” di berbagai daerah menjadi sinyal bahwa kekerasan sudah membudaya di kehidupan masyarakat. Seperti budaya Carok Madura dan Debus di Banten. Ada juga tarian-tarian perang yang menunjukkan kekuatan bertarung seperti tarian Papatai masyarakat Dayak, tari Kuda Lumping pada masyarakat Jawa, tari Cakalele di maluku, tari Velabhea di Papua dan begitu pula tari Perang Hentak dari Aceh. Tradisi-tradisi tersebut menunjukkan bahwa masyarakat kita sudah siap berperang terhadap siapapun dan dalam kondisi apapun.
Masing-masing daerah memiliki mekanisme pertahanan dan bela diri untuk menghadapi ancaman terhadap diri mereka. Masyarakat daerah tentu memiliki pola pendidikan damai (peace education) untuk mengarahkan kesiapsiagaan mereka agar selalu terbina perdamaian, bukan malah menyalahgunakannya untuk menebar konflik. Peace education hadir sebagai kontrol sosial serta sebagai tindakan preventif dalam penanganan konflik.
Konsep peace education dapat diterapkan pada semua tingkat pendidikan formal di Indonesia. Dalam buku Peace Education karya Ahmad Nurcholish Ada dua cara dalam penerapannya. Pertama, menggunakan metode exfusion, yaitu kurikulum peace education digunakan untuk mengganti atau memperluas kurikulum yang telah diberlakukan. Kedua, menerapkan metode infusion, yaitu dengan menyisipkan peace education ke dalam kurikulum yang sudah ada. Pemerintah telah mengupayakan hal itu dalam kurikulum 2013 yang berusaha menerapkan pendidikan karakter kepada siswa pendidikan dasar dan menengah.
Meskipun kenyataannya, tindak kekerasan di sekolah Indonesia terbilang masih tinggi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh dua lembaga swadaya masyarakat (LSM) Plan International dan International Center for Research and Woman menunjukkan bahwa angka kekerasan anak di sekolah mencapai 84 persen. Angka itu berada di atas rata-rata negara Asia lainnya seperti Kamboja, Nepal, Pakistan, dan Vietnam yang berada pada kisaran 70 persen.
Sementara berdasarkan data Komisi Perlindungan Anaka Indonesia (KPAI) pada tahun 2014 menunjukkan bahwa jumlah tawuran antar pelajar telah mencapai 2.737 kasus. Pada tahun 2015, jumlah tersebut meningkat sebesar 12-18 persen. Begitulah gambaran segelintir citra buruk dunia pendidikan Indonesia yang perlu dibenahi, karena melalui budaya-budaya buruk tersebut pelajar mulai membiasakan diri terhadap kekerasan sehingga akan berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat.
Sebenarnya dalam dunia pendidikan, pelajar telah diberikan materi yang mengatur cara untuk bersikap baik melalui Bimbingan Konseling (BK). Namun dalam sejumlah kasus, materi BK tidak terlalu efektif membentuk sikap siswa karena hanya menimbulkan trauma. BK mengawasi setiap kesalahan pelajar dan menggunakan hukuman fisik seperti push up, potong rambut, serta dijemur di bawah terik matahari pada setiap kesalahan yang dilakukan oleh pelajar.
Padahal fungsi guru BK dapat dimaksimalkan dengan memberikan pemahaman mengenai empat prinsip pengajaran metode peace education. Pertama, prinsip holistik atau menyeluruh, yaitu pengajaran melibatkan pikiran, hati, semangat, serta tindakan yang dapat dilakukan oleh siswa. Kedua, dialog untuk memposisikan diri pada posisi yang sama. Ketiga, pemikiran kritis, yaitu peserta didik mampu berpikir aktif secara mendalam tentang pentingnya budaya damai. Keempat, membentuk nilai-nilai perdamaian dengan memberikan pengetahuan tentang kekerasan dan strategi mewujudkan perdamaian.
Konsep peace education ini penting untuk diterapkan ke dalam dunia pendidikan formal. Dilihat dari segi kuantintas, pendidikan formal lebih banyak diminati masyarakat. Keberadaan dan penyelenggaraannya pun telah dijamin oleh undang-undang. Dari segi kualitas, pendidikan formal dinilai sebagai pencetak generasi penerus bangsa yang menentukan arah bangsa ini di masa depan.
Langkah Penerapan Peace Education
Langkah preventif penanganan konflik berupa peace education ini dapat diterapkan menjadi solusi jangka panjang dalam menangani konflik di Indonesia. Tidak hanya bagi kalangan pelajar semata, melainkan bagi masyarakat secara umum karena suatu saat pelajar pun akan terjun ke tengah masyarakat. Pasalnya selama ini penerapan resolusi konflik hanya berperan sebagai penawar sementara, tidak mampu meredam pertikaian secara permanen. Sehingga konflik berikutnya dapat terjadi setiap saat.
Oleh karenanya, peace education diupayakan menjadi metode untuk membangun perdamaian. Perdamaian sendiri hanya dapat dicapai melalui kesepakatan umum atau komitmen dari individu untuk mencapai kesatuan yang dilakukan melalui pendidikan terhadap seluruh proses kehidupan sosial dengan cara baik oleh individu maupun kelompok sosial. Pendidikan itu meliputi pengembangan kapasitas pribadi, sikap, bakat, dan pengetahuan.
Abraham Maslow dalam teorinya menyatakan bahwa untuk mencapai sebuah kedamaian, manusia harus memenuhi lima kebutuhan pokok terlebih dahulu. Kelimanya terdiri dari kebutuhan fisiologis, kebutuhan keamanan dan keselamatan, kebutuhan sosial, kebutuhan penghargaan, serta kebutuhan aktualisasi diri. Apabila salah satu di antaranya tidak terpenuhi maka dapat dipastikan akan terjadi suatu konflik. Pemenuhan akan kebutuhan-kebutuhan tersebut harus selalu diperjuangkan, bukan melalui cara-cara negatif seperti perang atau kekerasan fisik. Melainkan melalui cara positif dengan menekankan pada pemenuhan Hak Asasi Masusia (HAM) serta terwujudnya keadilan sosial.
Peace education menjadi salah satu solusi untuk mewujudkan hal itu, tentunya dengan tetap memperhatikan lima etika penting dalam penerapannya (James Halaman, 2004; 2008). Pertama, etika moralitas yang merujuk kepada nilai-nilai sosial. Kedua, etika konsekuensialis yang mengacu pada kensekuensi dari setiap perilaku seseorang. Ketiga, etika politik konservatif untuk menekankan pentingnya perkembangan institusi sosial dan perkembangan sosial yang terartur.
Keempat, etika estetis sebagai penafsiran bahwa perdamaian adalah suatu keindahan yang sangat berharga dan ditekankan ke dalam diri individu. Kelima, etika perawatan sebagai pendorong kepercayaan dan keterlibatan dengan yang lain untuk menciptakan perdamaian. Melalui metode ini diharapkan dapat menarik, memperkaya, memperdalam, dan menempatkan konsep berpikir tentang perdamaian serta tidak hanya sekadar pengetahuan namun dapat terealisasikan oleh setiap manusia. [Riyan F]
KOMENTAR