Agama menjadi aspek penting dalam kehidupan manusia. Ia menjadi kebutuhan, yang karena itu pula agama menyatu dan tak bisa lepas dari ruang dan waktu di mana manusia menjalani kehidupan.
Agama hidup dalam diri pemeluknya sekaligus di ruang publik kehidupan sosial dan bernegara. Karena kedekatan itu, sebagian pemeluk agama menginginkan aturan agama harus berlakukan dalam seluruh aspek kehidupan termasuk dalam sistem pemerintahan. Dari sini lahirlah pemerintahan yang bersifat teokratis.
Kondisi ini kontras dengan kondisi di negara-negara sekuler, agama justru dipandang sebagai ranah privat. Agama dianggap tidak berkembang bahkan jadi penghambat kemajuan sehingga harus dipisahkan negara. Ada anggapan seiring berkembangnya negara sekuler, agama perlahan-lahan akan ditinggalkan pemeluknya.
Hubungan antara agama dan negara dikaji oleh banyak tokoh dalam berbagai macam cabang keilmuan. Salah satunya Filsuf Kontemporer Jurgen Habermas yang pemikirannya dikaji Gusti A. B. Menoh dalam Buku Agama Dalam Ruang Publik yang menolak pandangan Negara sekuler tersebut. Habermas mencoba menegaskan kembali posisi agama yang hidup bersama pemeluknya di ruang publik. Upaya yang dilakukan Habermas kemudian melahirkan pandangan baru mengenai peran agama di era demokrasi modern.
Habermas mengkritik tesis sekulerisasi yang banyak dibela intelektual Barat, bahwa posisi agama akan memudar dan kurang penting bagi masyarakat modern. Menurut Habermas, agama telah menjadi pandangan dunia yang berperan sebagai kekuatan pembentuk kebudayaan yang vital. Bahkan bentuk modernitas pun bergantung pada pengaruh agama.
Demokrasi Deliberatif
Dalam satu kesempatan, Habermas memprovokasi sekulerisasi yang terjadi di Barat dengan menyarankan agar peran publik untuk agama kembali diberi dalam demokrasi. Karena di dalam demokrasi, suara hati yang bersumber dari iman religius akan menjadi kekuatan kritis bagi kekuatan tiranis dan ketidakadilan sosial.
Peran agama bagi kehidupan manusia dalam demokrasi tidak berarti harus menempatkan agama bertengger di meja pemerintahan. Agama memiliki watak ganda, selain sebagai kekuatan kritis, agama juga bersifat dogmatis. Menempatkan agama sepenuhnya di dalam pemerintahan menurut Habermas akan menjadikan negara teokratis. Akibatnya, aturan pemerintahan akan didominasi oleh satu agama. Ini tidak baik bagi negara yang pluralis. Sehingga agama harus dipisahkan secara ketat dari politik dan dimasukkan ke ranah privat.
Demokrasi memerlukan legitimasi dari warga negaranya yang beriman. Pada masalah ini, Habermas melihat esensi demokrasi dengan komunikasi yang disebutnya “pemakaian akal secara publik”. Lokus agama dalam demokrasi ialah ikut serta memberikan penalaran publik. Habermas membangun sebuah model komunikasi politis yang ia sebut dengan teori demokrasi deliberatif.
Teori deliberatif mengambil jalan tengah antara liberalisme dan komunitarianisme. Perhatian pada institusi tidak berarti mengabaikan warga negara, dan perhatian pada aspirasi warga tidak mesti mengabaikan sistem politik. Sebab keduanya saling mengendalikan (hal: 76).
Model yang diajukan Habermas menekankan pentingnya prosedur komunikasi untuk mendapatkan legitimasi hukum antara sistem politik dan ruang publik. Hukum harus legitim dalam pandangan masyarakat karena ia berperan sebagai medium integrasi sosial sebagaimana dalam tesis Habermas. Dan teori deliberatif mengandaikan legitimasi hukum yang lahir dari berbagai diskursus di dalam masyarakat sipil.
Deliberatif berasal dari deleberatio (Latin) yang berarti menimbang-nimbang secara rasional, berkonsultasi, dan musyawarah secara terbuka. Di Indonesia, model demokrasi ini dikenal dengan demokrasi permusyawaratan (hal: 81).
Teori deliberatif menjadi bentuk pengembangan dari teori kritis dan komunikatif Habermas. Kondisi masyarakat saat ini yang ditandai pluralitas budaya dan orientasi nilai memerlukan perubahan paradigma filsafat kesadaran. Habermas kemudian mengajukan paradigma teori komunikasi yang tidak lagi memahami subjektivitas sebagai yang terisolasi ditandai dengan cara pengenalan monologis (satu arah). Melainkan harus berlangsung dua arah.
Menurut F. Budi Hardiman, teori Habermas merupakan desakan untuk membuka kanal-kanal komunikasi di dalam negara hukum modern. Sasarannya legitimasi kekuasaan melalui pastisipasi warga negara karena ia adalah aktor sesungguhnya dari diskursus publik. Warga negara di sini bukan hanya makhluk rasional, bukan hanya orang sekuler, entah Ateis atau Agnotis. Mereka adalah pemeluk agama yang di negara-neraga sekuler pun seperti di Amerika dan Eropa tidak kurang dari 70 persen (hal: 21).
Ruang Publik
Demokrasi deliberatif yang diajukan Habermas bertumpu pada ruang publik dimana warga negara dipandang sebagai elemen penting. Dapat dikatakan bahwa ruang publik adalah konstruksi dari politik deliberatif.
Ruang publik ditekankan Habermas sebagai ruang otonom yang berbeda dari negara dan pasar. Ia tidak hidup dari kekuasaan administratif maupun ekonomi kapitalistis. Ruang publik dapat digambarkan sebagai suatu jaringan untuk mengomunikasikan informasi dan pandangan-pandangan, aliran-aliran komunikasi yang dalam prosesnya disaring dan disintesakan dalam suatu cara sebagai opini publik.
Filsafat politik Habermas menempatkan ruang publik sebagai tempat sentral. Di dalam ruang publik terdapat para warga yang membicarakan problem-problem mereka secara rasional kemudian disambungkan ke sistem politik pemerintahan. Dengan ruang publik Habermas sebenarnya sedang mengajukan kekuasaan komunikatif. Kekuasaan ini diharapkan bisa memaksa negara untuk peka terhadap diskursus masyarakat sipil.
Membaca Indonesia dari Habermas
Kajian Menoh terhadap pemikiran Habermas dalam buku ini menemukan relevansinya dengan kondisi di Indonesia. Terutama setelah kekuasaan Orde Baru tumbang, demokrasi mulai menampakkan kakinya. Indonesia bukan negara sekuler yang memaksakan agama hanya menjadi ranah privat. Bukan pula negara teokratis yang menjadikan memasukkan doktrin satu agama jadi hukum resmi negara.
Sesuai dengan teori Habermas, pandangan masyarakat yang merupakan nilai universal dari agama-agama telah menjadi ideologi negara yang bisa diterima semua kalangan pemeluk agama. Ini terlihat dari diubahnya sila pertama pada butir Pancasila yang semula memasukkan syariat Islam.
Kritik Menoh setelah melakukan telaah terhadap pemikiran Habermas melahirkan pandangan, bahwa demokrasi Indonesia yang membuka ruang kebebasan, dewasa ini bukannya melahirkan ruang publik yang kritis terhadap sistem pemerintahan. Sebaliknya ruang publik yang mulai terbentuk terancam oleh
fundamentalisme agama dan pasar (hal: 211).
Kedua kekuatan itu, menurut Menoh, keadaban publik yang menjadi cita-cita berdirinya bangsa dan negara sejak 1945 masih jauh dari harapan. Menoh memperlihatkan bahwa masih ada ancaman fundamentalisme agama yang diperlihatkan di ruang publik. Baik ruang publik formal berupa desakan pemberlakuan syariat Islam maupun ruang informal berupa teror dan akse kekerasan atas nama agama.
Sedangkan ancaman dari pasar terlihat dari adanya kolonialisasi dan hegemoni pasar. Tidak dapat ditolak ada komersialisasi ruang publik maupun perampasan kekuasaan politik oleh pemilik modal besar pasca Orde Baru yang sampai saat ini masih terus berlangsung. [Layla]
KOMENTAR