"Kuliah di UIN Walisongo, itu gampang masuknya. Tapi susah lulusnya". Begitulah seorang kawan mengawali obrolan di sebuah angkringan malam itu. Salah satu yang kini menjadi kendala utamanya adalah tes bahasa.
Pasalnya genap tiga semester ini, salah satu teman saya yang sedang berada di semester 13 itu, telah menyelesaikan tugas akhir akademiknya: skripsi. Namun, ia belum bisa mengajukan skripsinya untuk diujikan karena terganjal IMKA. Syarat kelulusan IMKA menjadi halangan besar baginya untuk segera wisuda.
Ditambah lagi, ia harus berebut jadwal test dengan adik tingkatannya. Sejak ada kebijakan baru, mulai semester satu diperbolehkan mendaftar test IMKA atau TOEFL. Jadwal tesTOEFL dan IMKA menjadi barang mahal bagi mahasiswa yang kebelet ingin lulus. PPB memang telah melakukan perbaikan dalam penentuan jadwal tes yang dibuka setiap bulan mulai tanggal 27 hingga 30. Namun tidak berselang lama, kursi sudah penuh dan harus menunggu bulan selanjutnya.
Kegelisahan ini pernah dicurahkan ke Kepala Jurusan (kajur) di fakultasnya. Tapi, kajur juga tidak bisa memberikan solusi kongkrit terkait problem yang dihadapinya. Kajur mengatakan bahwa tes bahasa bukan menjadi wewenangnya. Kebijakan itu menjadi wewenang Pusat Pengembangan Bahasa (PPB), yang bekerja di bawah rektorat.
Sebenaranya, kajur sendiri juga merasa dilema dengan peraturan tes TOEFL dan IMKA. Di satu sisi pihak kampus menuntut mahasiswanya untuk lulus cepat. Di sisi lain, mahasiswa diharuskan menguasai kemampuan dua bahasa: Bahasa Arab dan Bahasa Inggris, yang menghambat kelulusan.
Di jurusan yang ia tempuh, lebih dari tiga puluh mahasiswa satu angkatan dengannya juga belum lulus karena terhalang hal yang sama. Sekitar 70 persen terganjal kelulusan kemampuan dua bahasa. Ini baru satu jurusan dan satu angkatan. Bisa dibayangkan di jurusan atau fakultas lain, bisa jadi yang senasib semakin banyak.
TOEFL atau IMKA nampaknya menjadi kegelisahan bersama civitas akademik UIN Walisongo, baik mahasiswa program sarjana (S1), mahasiswa progam magister (S2), bahkan kajur sekalipun. Pernahkah pemangku kebijakan melakukan survei secara langsung kepada mahasiswa untuk sekadar mendengarkan kegelisah mahasiswanya?
Kampus Bukan Pabrik
"Masa teman kamu bisa bahasa Arab, kamu tidak". Begitulah Kata-kata Wakil Dekan Satu di fakultasnya saat diminta solusi mengenai problem bahasa yang dihadapinya. Kawan saya tidak habis pikir dengan kalimat yang tidak selayaknya terlontar dari seorang pejabat kampus yang semacam itu. Tidakkah ia berpikir mahasiswa mempunyai kemampuan yang berbeda-beda. Mahasiswa bukan robot yang bisa disetting dengan kemampuan seragam.
Perkataan wakil dekan tersebut, mengingatkan penulis pada apa yang dikatakan Albert Eisntein. Pendidikan yang terjadi sekarang justru membunuh kemampuan dan karakter peserta didik. Di mana semua peserta didik dengan segala perbedaan latar belakang dan kemampuan dasar, diberikan porsi pelajaran dan pola pembelajaran yang sama.
Hal semacam inilah yang terjadi dalam penyusunan kurikulum Program Intensif Bahasa (PIB) di UIN Walisongo. Mahasiswa dari berbagai latar belakang "dipaksa" untuk menguasai bahasa Inggris dan bahasa Arab. Ijazah dan prosesi wisuda menjadi jaminannya.
Pendidikan dengan role mode seperti itu sama halnya menyuruh ikan untuk memanjat pohon. Sampai kapanpun ikan itu tidak akan mampu untuk memanjat pohon. Lantas apakah ikan itu dianggap bodoh? Tentu tidak. Ikan memiliki kemampuan dan keahlian tersendiri. Tidak selayaknya disamakan dengan monyet yang pandai memanjat. Jadi, biarlah ikan itu berenang sesuai kompetensi dasarnya.
Ingatlah. Pendidikan bukanlah soal kompetensi semata. Di mana yang mampu mengikuti standar kompetensi pembelajaran, dianggap sebagai pemenang. Dan yang sebaliknya dianggap gagal. Seyogyanya, pendidikan mendorong pada kebebasan, mampu menempatkan peserta didiknya sesuai dengan kemampuan dasar yang dimilikinya.
Kampus sebagai salah satu lembaga pendidikan juga harus mampu menjadi labolatorium dan kawah candradimuka mahasiswanya. Tempat di mana mahasiswa mendalami ilmu langit sebagai landasan gerak serta lingkungan yang menjungjung tinggi ilmu pengetahuan.
Kampus bukanlah pabrik yang memproduksi output satu varian baik bentuk maupun kualitasnya. Seyogyanya kampus mendorong mahasiswanya agar mampu mengeksplorasi segala tantangan di setiap aspek kehidupan.
Hal itu yang sejatinya menjadi perhatian dari pemangku kebijakan di UIN Walisongo. Keberhasilan mahasiswanya tidaklah diukur dari capain akademik semata, tapi ada hal lain yang perlu dipertimbangkan. Tentunya, hal ini bukan berarti kompetensi akademik tidaklah penting. Akan tetapi, pemangku kebijakan juga harus menyadari bahwa tiap mahasiswa mempunya skill dan kemampuan yang beragam.
Kembali lagi pada permasalah polemik TOEFL dan IMKA di UIN Walisongo. Kebijakan untuk mencapai standar kemampuan dua bahasa bagi mahasiswa, seperti halnya menyuruh ikan memanjat pohon. Toh faktanya, input mahasiswa UIN Walisongo dari berbagai latar belakang.
Hemat penulis, biarlah mahasiswa memilih tes bahasa sesuai kompetensinya masing-masing. Dengan dilema kuliah yang seperti demikian sebagai wajah kampus berbasis riset? jika kebijakan yang dalam perjalanannya seperti bukan hasil kajian dan riset. Lantas, masihkah pemangku kebijakan memaksakan egonya seperti itu?. [Kps]
KOMENTAR