Ilustras: Pixabay |
Sejak sore kemarin saat aku sedang berjalan-jalan di sekitar kompleks, aku melihat seorang perempuan tengah duduk di bangku taman—sendiri saja. Tak ingin mengusiknya, aku hanya melewatinya dan kulihat dia hanya diam dan duduk saja, tak ada respon.
Aku masih ingat kejadian beberapa minggu lalu. Anjing tetangga yang menyalak di depanku, liurnya yang membuatku takut setengah mati. Aku yang tak tahu harus berbuat apa hanya diam dan mencoba tenang. Kurogoh saku celanaku, segera kuhubungi ibu rumah sebelah. Semenit dua menit tak ada sapaan, aku pun mulai resah. Aku ingin lari sekencang-kencangnya namun sepertinya anjing ini lebih kuat untuk sekedar mengejarku. Aku tak punya pilihan lain akhirnya aku mulai berjalan mundur, perlahan, dan berlari. Anjing tetangga mulai mengejar dan tiba saatnya kakiku menjadi santapannya.
Tiga hari aku dirawat, pekerjaanku terbengkalai. Kawan kerjaku, Hadi, mengunjungiku setiap hari. Berceramah setiap menit,
“Kau seharusnya lari kencang, Ran,” katanya seakan tak pernah membayangkan bagaimana rasanya dikejar anjing.
“Sudah tiga hari kau dirawat, kata dokter besok bisa pulang, aku akan mengantarmu. Hari ini aku akan menemanimu sampai esok,”.
Aku jadi teringat saat aku masih dengan perempuanku. Seorang yang sangat sempurna, kurasa. Tak ada sedikit pun cacat dalam dirinya. Saat aku sedang susah sekalipun, dia hanya ingin merawatku dan menjagaku. Padahal pekerjaan seorang model itu tidaklah mudah. Dia harus membagi waktunya untuk itu. Dan waktu yang sangat ditunggu-tunggu seorang kekasih adalah ketika hari jadi kami berdua namun, ternyata aku jatuh sakit dan harus dirawat.
Setelah kejadian itu, aku trauma dan berencana pindah tempat tinggal. Sekitar dua jam dari tempat tinggal yang dulu, akhirnya aku dapat tempat tinggal yang nyaman dan pas, tidak jauh juga dari kantorku. Aku mengontrak di sebuah perumahan, tidak terlalu mahal. Kontrakanku berada di pojok dekat taman dara, taman dara karena banyak burung dara yang hinggap di taman itu, entah punya siapa, mungkin sengaja dipelihara oleh pemilik perumahan. Setiap kali mengingat kejadian beberapa bulan yang lalu, hatiku teriris. Bagaimana tidak? Waktu itu adalah hari terspesial bagiku. Perempuanku ingin sekali memberikan kejutan.
Sudah beberapa hari ia mempersiapkannya, dan aku tahu semua ini dari Hadi. Segala sesuatu dari mulai kado, pakaian, dan tempat yang pas untuk merayakan ulang tahunku. Dia menelepon saat senja mulai merekah, katanya aku harus siap-siap saat ia menjemput. Sudah satu jam aku menunggunya, biasanya tak sampai sejam ia datang. Tiba-tiba hp ku berdering, tertera nama Hadi di telepon. Hadi berbicara dengan gagap.
“Ka, Ka, Karina kecelakaan, dan tak terselamatkan,” aku yang sedari tadi bungah menunggunya, sekarang hanya menatap kosong ke arah pintu. Seakan mimpi baru saja menyapa namun, angin lebih cepat menamparku. Setetes air berduka atas kepergian Karina, kekasihku.
Kalau sedang tidak sibuk dan tugas sudah kelar, sering aku berjalan-jalan santai di sekitar kompleks. Sambil menikmati udara sore hari dan menikmati senja. Tak sengaja, aku melihat seorang perempuan di bangku taman, sendirian saja. Kulihat ia sedang diam, entahlah, waktu itu aku hanya sekedar melewatinya dan menoleh sebentar ke arahnya namun, tak ada respon sama sekali. Bangku coklat dengan pegangan besi di kiri kanannya hanya ada dua di taman. Perempuan itu duduk di bangku sebelah timur berlatar bunga di sekelilingnya.
Sudah dua minggu aku tinggal di perumahan taman dara, perumahan ini tampak sepi-sepi saja. Tak ada hal yang perlu dikhawatirkan. Aku beraktivitas seperti biasa. Kadang si Hadi datang untuk sekedar minum kopi bersama.
Hari ini aku bebas, semua tugas selesai kukerjakan. Sekedar berjalan-berjalan saat sore hari tiba, kulihat lagi perempuan yang sama di bangku taman itu. Ada rasa penasaran yang ingin kuusik darinya. Dengan berani aku menghampiri dan menyapanya.
“Selamat sore,” sapaku . Ah, ternyata dia tetap tidak menggubrisku. Ku lantangkan lagi suaraku untuk menyapanya.
Dua menit kumenunggu ia bereaksi namun, hanya angin yang menyapa salamku. Aku berlalu sambil menggerutu pada diri sendiri.
Setiap sore selama sepekan ini aku memandanginya, memperhatikan perempuan itu. Duduk sendirian ditemani burung-burung dara di taman. Aku menyerah untuk mendekatinya, sekedar menyapa pun aku sudah tak berani lagi. Entahlah. Aku hanya ingin memperhatikannya dari jauh saja.
Seperti halnya orang-orang yang penasaran, aku pun begitu. Perempuan itu membuatku penasaran. Atas sesuatu yang ditutupinya tetapi hanya aku yang peka. Aku ingin mengetahui lebih dekat, apakah aku berani? Ya, aku tak akan takut walaupun hanya diam yang berbicara. Apa penyebab dia berdiam diri di sebuah bangku taman? Pertanyaan bergulir tak berujung.
Angin menderu pada malam yang syahdu. Tangan kakiku telah berjuang seharian. Pikiranku masih tetap ke mana-mana dan belum pulang. Kamar pengap dengan ketidakpastian. Pekerjaan yang seperti itu-itu saja membuatku bosan, tapi aku tak boleh menyerah. Gusti, bersama malam yang panjang ini, aku pasrah. Semoga lelapku menjadi jawaban atas pertanyaan kemarin, doaku di ujung malam.
Semakin hari aku dilanda kesibukan. Bos yang selalu menelpon, tak segan-segan melemparkan seluruh tugasnya padaku. Sudah jarang aku mengelilingi kompleks dengan senja nya yang merekah, dan tak lupa seorang perempuan di taman yang sepi.
**
Masuk bulan Oktober, langit tak ubahnya seperti orang yang sedang berduka. Muram dan mendung. Setiap hari hujan, payung pun siap sedia. Hari Minggu waktunya beristirahat, sepertinya hari ini akan cerah. Tak kulihat tanda-tanda akan turunnya hujan. Pilihan yang sulit untuk berjalan-jalan sekedar refreshing atau hanya beristirahat saja. Akhirnya kupilih beristirahat dengan coklat panas dan laptop yang menemani. Aku memang tidak terlalu suka kopi. Biasa saja, kalau sedang stress dan bosan saja kopi akan selalu menemani.
Selain mengistirahatkan badan, aku juga suka mengisi tulisan di blog pribadiku. Di hari-hari libur seperti ini, blogku kuiisi beberapa cerita pendek dan puisi. Ya, aku suka menuliskan berbaris-baris puisi, ada satu puisi di blogku yang selalu kubaca. Puisi untuk Karina, kekasihku. Seorang model yang cantik, anggun, dan baik. Di blog hanya ada puisi tentangnya dan tentang apa saja yang ada di sekelilingku. Walaupun memang puisiku belum seutuhnya bagus tapi setidaknya menulis puisi itu mengasyikkan. Banyak penyair Indonesia yang kuidolakan, sekaligus menjadi inspirasiku.
Sore menjelang, seperti biasa, berjalan-jalan keliling kompleks menjadi hal yang tidak boleh terlewatkan. Namun, sepertinya hujan akan turun. Benar saja, jarak 100 meter dari tempat tinggalku sudah turun rintik-rintik, untung aku membawa payung. Beberapa meter lagi aku sampai di taman. Aku harus cepat sampai taman, aku ingin melihatnya, seorang perempuan di bangku taman. Ah, tapi apa mungkin hujan-hujan begini dia duduk di sana? Kucepatkan langkahku. Dan akhirnya kulihat dia sedang mendongak ke arah langit, lalu beberapa menit kemudian dia mulai sadar, langit sedang bersedih. Hujan turun namun ia tersenyum.
Hujan semakin deras, rintik pun terganti oleh segerombolan air yang tak segan-segan datang dan menghujani. Aku pun segera menyusul ke arah perempuan tersebut. Kupayungi ia, tapi sepertinya dia sedikit bingung, mengapa hujan yang turun hanya sesaat saja. Kusentuh perlahan pundaknya dan dia kaget bukan kepalang. Diambilnya tongkat (seperti tongkat yang dibawa seorang tuna netra) lalu dia berjalan menjauhiku. Aku bingung sekali.
Tak lama, seorang ibu sedikit sudah sepuh yang membawa payung warna biru menghampiriku.
“Ayo, nak. Dia anak saya, rumah kami di sana, warna putih pagar biru,” ujarnya seraya berjalan menyusul perempuan itu. Aku pun ikut di belakangnya.
Rumah yang tak begitu luas namun terasa nyaman membuatku ingin menelusuri setiap sudutnya. Kulihat disekeliling ruang tamu terdapat beberapa pajangan. Salah satunya foto perempuan tersebut, beberapa piagam dan lukisan. Foto-foto yang tidak dipajang juga diletakkan di beberapa meja dan laci di dalam ruang tersebut. Ada juga foto keluarga perempuan tersebut, seorang laki-laki dan anak perempuan. Aku sangat penasaran saat foto yang diletakkan di laci kupegang, foto yang menggambarkan seorang perempuan itu berjalan di catwalk dan banyaknya kamera yang sedang mengambil gambarnya.
“Silahkan duduk, nak,” sapa seorang ibu yang membuatku kaget.
Kuletakkan kembali foto tersebut dan segera duduk di sofa bersamanya. Ibu yang menyuruhku mengikutinya sampai rumah ini sangat baik dan halus.
“Anak namanya siapa, kalau boleh saya tahu?” tanyanya padaku.
“Nama saya Randu Kusuma Wijaya, panggil saja Ran, bu,” jawabku sopan.
“Nak Randu tinggal di sebelah mana?” “Saya tinggal di dekat taman, rumah bercat coklat, bu,” tuturku.
“Pasti nak Ran bingung melihat anak saya, Citra, yang selalu duduk di bangku taman seorang diri. Dulu, sebelum terjadi kecelakaan yang mengakibatkan Citra tidak bisa melihat, mendengar maupun berbicara, dia adalah seorang model,” ibu berhenti sebentar, aku hanya diam menunggu ibu melanjutkan cerita.
Citra mempunyai keluarga kecil yang harmonis. Tetapi setelah ia mengalami kecelakaan, suami Citra menceraikannya, dia tidak bisa menerima istri yang cacat panca inderanya. Anaknya dibawa suaminya dan akhirnya Citra tinggal bersama ibu.
Citra selalu mengurung diri di kamar ketika pagi dan malam, tetapi jika sore tiba ia selalu pergi ke taman sendirian. Ada alat bantu untuknya, pertama tongkat dan yang kedua alat bantu untuk mendengar. Di dalam kamarnya ada jam besar yang jika berdentang sangat nyaring, makanya setiap pukul tiga sore Citra segera pergi ke taman sendirian.
Tak banyak yang mengerti kondisi Citra. Hanya sebagian saudara yang datang dan menjenguknya. Citra tidak suka diganggu oleh orang yang tidak dikenalnya, dia akan bingung dan segera pergi. Maafkan Citra ya, nak Ran. Mungkin tadi nak Ran tidak mengetahuinya,” cerita ibu panjang lebar.
Sudah mulai gelap, aku harus pamit undur diri.
“Maaf, bu. Sudah mulai gelap, sebaiknya saya pulang, bu. Terimakasih atas teh hangat dan ceritanya, bu.”
“Iya nak sama-sama. Sering-seringlah main ke sini, lambat laun kau akan mengenali Citra dan Citra sendiri akan terbiasa dengan orang-orang di sekitarnya.”
“Iya, bu. Nanti jika saya ada waktu saya akan main ke rumah ibu. Permisi, bu.”
“Hati-hati, nak.”
Malamnya aku tak bisa tidur membayangkan bagaimana rasanya dunia telah mati, dan Tuhan masih memberikan hidup. Aku tak bisa membelenggu air mataku, tetesan demi tetesan menemaniku di malam yang gelap mengingatkanku pada seorang model di masa lalu, yang telah tiada. Citra yang kuat, mungkin dia bisa saja bunuh diri tapi karena dia memiliki ibu yang halus, baik, dan lembut, dia tidak bisa melakukannya. Kubuka blogku, kubaca lagi puisi yang kubuat khusus untuk Karina, ingin kuhadiahkan untuknya tapi hanya mimpi namun, aku ingin memberikan untuk Citra. Besok akan kuberikan pada ibu, semoga ibu membacakannya dengan halus namun keras, sehingga Citra bisa menghayatinya.
**
Di rumah Citra.
“Nak, ini ada titipan surat berisi puisi yang dituliskan seseorang untukmu. Dengarkan dan hayati, ya sayang,” Citra yang hanya mengangguk tanda setuju pun menunggu ibu membacakannya.
“Hadiah Terindah”
Senja bertebar indah,
melagu untuk dia; sempurna
semua adalah kekasih Tuhan
aku bukan bagiannya
Namun, perempuan
berjemari lentik mengajarkanku
bagaimana mensyukuri
setiap langkah
adalah
hadiah terindah
Randu Wijaya Kusuma
Setetes air mata pun jatuh di pipi merah Citra. Bangku taman telah mengajarinya untuk berdamai, dengan segala masa lalu, membuatnya berlapang. Sedetik kemudian, ia penasaran dengan pemberi puisi. [Zela]
KOMENTAR