“Mahasiswa harus mampu menjadi agent sosial of change dan agent social of control”. Begitu yang sering digemborkan oleh senior, kepada mahasiswa baru di tahun awal perkuliahan. Para senior mendorong mahasiswa untuk lebih peduli dengan keadaan masyarakat di sekitarnya. Namun apakah kenyataanya demikian? Tingkat kepedulian mahasiswa salah satunya bisa dilihat dari pergaulan mereka dengan warga di sekitar tempat tinggalnya.
Hal ini juga penulis rasakan dari lingkungan tempat tinggal penulis di sebuah perumahan di Semarang. Banyak mahasiswa zaman now yang hanya kuliah-pulang (mahasiswa kupu-kupu) dan jarang bersosialisasi dengan masyarakat sekitar. Meskipun para senior sudah berulang kali mengatakan, "Jangan takut menjadi aktivis yang peduli masyarakat, lantas mendapat nilai IPK rendah. Bahkan para aktivis masih mampu mempertahankan IPK di atas 3,5. Semua tergantung manajemen waktu“. Seperti itu rayuan untuk menarik mahasiswa bergabung dengan organisasinya. Namun tetap saja mereka masih merasa nyaman dengan aktivitas hariannya sebagai mahasiswa kupu-kupu.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Salah satunya disebabkan oleh pendidikan Indonesia yang lemah dalam pendidikan karakter masyarakatnya. Survey mentri SOSBUD menyebutkan pendidikan karakter di Indonesia berada pada posisi ke 108 di dunia dengan skor 0,603. serta berada pada urutan ke 5 dari 10 negara di ASEAN. secara umum kualitas pendidikan di tanah air berada di bawah palestina, samoa dan mongolia. hanya sebanyak 44% penduduk mentuntaskan pendidikan menengah. sementara 11% murid gagal menuntaskan pendidikan.
Organisasi sebagai media untuk melatih kepekaan sosial, tanpa disadari malah memicu munculnya sifat asosial. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya event yang diselenggarakan mahasiswa namun hanya sedikit yang berpartisipasi. Jika event dikampusnya sendiri minim partisipasi apalagi event yang berada di masyarakat? mahasiswa mau berpartisipasi dalam sebuah event ketika merasa mendapat keuntungan baik berupa moral maupun material.
Selain itu sistem peraturan di kampus menyebabkan para aktivis semakin sibuk dengan urusan perkuliahannya, seperti tugas makalah yang menumpuk, tugas skripsi, dan berbagai tugas lainnya. Hal ini mengakibatkan pengayoman aktivis terhadap masyarakat semakin terbatasi. serta lunturnya komitmen memicu kurangnya kepedulian kepada masyarakat.
Jika kondisi semacam ini terus berlangsung, maka benarlah apa yang dikatakan oleh Tan malaka. “Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang berkerja dengan mencangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali “.
Untuk mengatasi kesenjangan tersebut mulai tahun ini pemerintah melalui Mentri Riset Teknologi dan Pendidikan tinggi M.Nasir akan menghidupkan kembali program sarjana masuk desa. sehingga diharapkan masyarakat dapat menerima kreasi dan inovasi untuk memajukan kesejahteraan masyarakat. impian tersebut tidak akan terbukti jika tidak ada interaksi antara sarjana dengan masyarakat umum. sudah siapkah anda untuk bersosialisasi kepada masyarakat umum?. [Ayya]
KOMENTAR