
Berdasarkan survey Nielsen Audience Measurement (NAM) tahun 2014 lalu menunjukkan konsumsi tayangan televisi di Pulau Jawa lebih tinggi daripada media-media lain. Rata-rata konsumsi tayangan televisi meningkat pada rentang usia remaja yang menghabiskan waktu menonton tv antara 3 hingga 5 jam per hari. Kebanyakan dari mereka menonton kartun dan sinetron. Sayangnya, tayangan anak-anak dalam industri pertelevisian Indonesia mengalami penurunan kualitas beberapa tahun terakhir.
Survei Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bulan November sampai Desember 2016 menunjukkan indeks kualitas program anak-anak hanya bernilai 3.62. Padahal standar minimal kualitas program KPI ialah 4.0, terlebih pada dua bulan sebelumnya bernilai 3.69. Penurunan indeks kualitas program anak-anak meliputi unsur informatif, edukatif, dan empati sosial. Unsur informatif pada tayangan anak menjadi aspek yang paling banyak mengalami penurunan yang mencapai 3 persen. Meskipun kedua aspek lainnya tidak mengalami penurunan signifikan, namun kita bisa melihat banyak tayangan televisi di Indonesia yang tidak ramah anak. Sebab tayangan tersebut hanya mengedepankan rating dan pendapatan iklan semata.
Tidak hanya dari segi kualitas, dilihat dari segi kuantitas pun tayangan untuk kategori anak-anak sangatlah minim. KPI menilai, dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir siaran pertelevisian indonesia lebih didominasi kategori remaja dan tayangan dari luar negeri seperti India, Korea, bahkan negara tetangga, Malaysia. Pada tahun 2017 lalu Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) menganalisis sejumlah 1.401 acara anak, hasilnya sebanyak 59 persen tayangan tersebut dinyatakan "tidak aman" bagi anak-anak.
Ketua Dewan Pembinaan Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Setyo Mulyani menyatakan jumlah tayangan televisi anak yang mendidik hanya 0,7 persen. Minimnya tayangan anak yang mendidik mengakibatkan dampak negatif pada perilaku anak-anak. Di antaranya cara anak berinteraksi dengan keluarganya, perubahan pola bermain, dan sebagainya.
Langkah Pemerintah
KPI sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas permasalahan ini menawarkan sejumlah solusi untuk mengatasi problem tersebut. Di antaranya KPI memberi peringatan tertulis kepada stasiun TV Indonesia yang tayangannya dianggap berbahaya dan tidak aman. KPI juga melakukan sensor terhadap tayangan-tayangan yang dianggap menyalahi norma yang berlaku di Indonesia. Hal ini diharapkan agar bisa menjadi penunjang kualitas program anak-anak yang akan datang.
Sayangnya, beberapa stasiun TV Indonesia tak acuh dengan peringatan KPI. Mereka tetap menyiarkan program anak kategori "tidak aman" meski telah mendapatkan peringatan. Rating dan pendapatan menjadi prioritas utama mereka dalam menyiarkan programnya. Mereka mengabaikan aspek-aspek penting yang mendidik untuk anak-anak.
Di samping itu, KPI memberi apresiasi kepada stasiun TV yang menyiarkan tayangan ramah anak dan kaya akan edukasi. Terutama tayangan animasi karya anak bangsa. Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, stasiun TV Indonesia mulai menyiarkan animasi-animasi karya lokal, seperti Adit dan Sopo Jarwo, Keluarga Somat, dan lainnya. KPI berharap, anak-anak muda sekarang dapat menumbuhkan kreativitasnya dalam produksi animasi yang mendidik.
Merindukan Era 90-an
Pada tahun 90-an hingga awal 2000-an, bisa dibilang menjadi masa keemasan bagi tayangan anak di Indonesia. Tayangan anak kerap menghiasi layar kaca Indonesia dengan memberikan waktu khusus untuk menyiarkan tayangan anak sejak pagi hingga siang. Kita ingat, dulu Indosiar dan RCTI setiap hari Minggu sejak pukul 5 pagi hingga 11 siang hanya menyiarkan tayangan untuk anak-anak. Tak ada satu pun program infotainment, acara musik yang tidak jelas, maupun sinetron alay yang menyela tayangan anak pada waktu itu. Mereka tahu, hari Minggu adalah hari libur sekolah, sehingga banyak waktu luang bagi anak-anak untuk menonton TV dengan tayangan yang menghibur dan mendidik.
Tayangan-tayangan itu masih terekam dalam memori anak-anak era 90-an. Setiap tayangan memberi kesan yang mendalam hingga membekas sampai sekarang. Penulis sendiri ingat, dulu setiap hari Minggu sudah stay di depan tv sejak pagi hari. Hal itu penulis lakukan sebagai sarana hiburan setelah enam hari sebelumnya belajar di sekolah.
Tayangan anak era 90-an, selain menghibur, juga banyak membeli pelajaran. Seperti cerita si Unyil yang masih ada sampai sekarang. Program si Unyil pertama kali tayang di layar tv tahun 1981, namun mulai terkenal pada tahun 90-an. Program yang dulunya disiarkan di TVRI itu, kini kembali diproduksi oleh Trans 7 dengan nuansa baru bernama Laptop si Unyil. Meskipun beda produksi, akan tetapi program tersebut tetap mengedepankan unsur edukasi di dalamnya. Lalu, mengapa tayangan anak di Indonesia tidak bisa seperti dahulu lagi? [Zain]
KOMENTAR