
Pada tahun 2016, jumlah pengguna internet aktif di Indonesia telah mencapai 132,7 juta pengguna (APJII). Separuh lebih penduduk Indonesia itu bebas mengakses informasi apapun di internet. Sayangnya, kebebasan digital tersebut tidak dibarengi dengan budaya "membaca" yang baik.
Buktinya akhir-akhir ini, warganet Indonesia ramai memperbincangkan keputusan artis tanah air, Rina Nose, dalam melepas hijab. Berbagai komentar miring dan tuduhan negatif dilayangkan kepadanya, secara bertubi-tubi. Layaknya hukuman rajam kepada seorang pelaku zina. Hanya saja bukan batu yang dilemparkan kepada Rina Nose, melainkan hinaan dan ejekan berdampak masif yang mampu membunuh identitasnya.
Kasus Rina Nose di atas hanyalah satu di antara ribuan kasus lain yang tidak terekspos media, akibat dari kebebasan digital di Indonesia yang tidak terkendali. Indonesia tengah mengalami krisis serius, masyarakatnya tengah saling membunuh identitas di media sosial. Meskipun tidak semua warganet Indonesia bertindak sedemikian buruk, hal ini perlu segera mendapatkan perhatian dari pemerintah.
Untuk menanggulangi kebebasan digital di Indonesia agar tidak terlewat batas, pemerintah memang telah memberlakukan dan merevisi Undang-undang Interaksi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dalam pasal 28 ayat 2 mengatur tentang ujaran kebencian yang beredar di internet.
Namun pada kenyataannya, pasal tersebut belum mampu mengendalikan kebebasan digital di Indonesia. Persebaran ujaran kebencian yang mengatasnamakan suku, ras, agama, dan antargolongan masih marak terjadi. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) mengkritik pasal tersebut sebagai pasal karet dan berpotensi melanggar hak kebebasan berekspresi. Bahkan Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) menggugat pasal tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena dianggap multitafsir.
Penjajahan Gaya Baru?
Kebebasan digital yang terlewat batas telah membawa masyarakat Indonesia ke dalam sebuah penjajahan gaya baru. Media sosial, menurut Panglima TNI, Gatot Nurmantyo menjadi sebuah penjajahan gaya baru yang menjadi sebuah ancaman. Menurut Gatot penjajahan tersebut berupa penjajahan ekonomi, waktu, hingga rumah tangga. Namun lebih dari itu, penjajahan yang paling jelas terlihat ialah penindasan terhadap identitas orang lain yang tidak sepaham dengan kelompok tertentu.
Lebih dari itu, masyarakat kita yang sedari dulu dikenal memiliki budaya santun, berubah 180 derajat jika kita melihatnya melalui beranda Facebook. Saling sikut antar ormas dan golongan tidak pernah ada habisnya, selalu muncul di beranda Facebook setiap hari. Etika dan budaya santun berubah menjadi bringas dan kejam. Siapapun yang memiliki pandangan berbeda akan dilukai bahkan dibunuh identitasnya.
Lantas, masihkah kita memaknai kebebasan digital di Indonesia sebagai sebuah kebebasan? Atau telah berubah pemaknaan menjadi sebuah penjajahan? [Nabila]
KOMENTAR