Semarang, IDEApers.com - Menteri Agama Republik Indonesia (Menag RI), Lukman Hakim Saifuddin hadir dalam acara Halaqah Kebangsaan yang diadakan Keluarga Alumni (Kalam) Walisongo bekerja sama dengan Direktorat Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama Republik Indonesia.
Dalam kesempatan itu ia menyampaikan tentang bagaimana cara berbangsa dan bernegara bagi para santri. Lukman mengungkapkan bahwa santri harus memiliki lima ciri dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pertama, ia harus paham Islam, nilai-nilai Islam dan aktualisasi nilai-nilai Islam.
"Seorang santri harus mampu memahami Islam, nilai-nilai dan aktualisasinya. Pada hakikatnya, manusia di bumi memiliki dua fungsi, selain sebagai seorang hamba Allah ('abdullah) ia juga berperan sebagai khalifatullah. Eksistensi manusia di bumi adalah untuk mengelola, mengatur dan membangun alam semesta. Adanya Islam adalah untuk memanusiakan manusia. Supaya manusia tidak lupa peran dan fungsinya di dunia ini," tegasnya saat menyampaikan Halaqah Kebangsaan di auditorium dua kampus tiga UIN Walisongo, Jum'at (12/5/17)..
Setelah itu, lukman mengatakan seorang santri harus bisa menghargai keberagaman, terutama di Indonesia yang mempunyai banyak agama.
"Kondisi Indonesia yang majemuk menciptakan keberagaman dalam banyak aspek. Baik itu Suku, Agama, Ras dan juga Antar golongan atau yang biasa disebut dengan SARA. Seorang santri harus bisa menghargai keberagaman yang ada. Meskipun santri identik dengan agama Islam, namun dalam Islam sendiri telah mengajarkan untuk menghargai sesama manusia. Bahkan dalam al Quran telah disebutkan bahwa diciptakannya manusia dalam beberapa suku, golongan, laki-laki maupun perempuan adalah supaya untuk saling mengenal satu sama lain. Karena itu, bagi santri keberagaman adalah nikmat bukan malah menegasikan keberagaman untuk menyeragamkan segalanya," Lanjutnya.
Tidak memonopoli kebenaran, menurutnya santri juga tak boleh egois menganggap dirinya yang paling benar. Mereka harus dapat berkomunikasi dengan orang yang berbeda pendapatnya agar tidak asal menyalahkan.
"Perbedaan pendapat dalam suatu permasalahan merupakan hal yang tak dapat dihindari. Namun seorang santri, setelah mampu memahami Islam dan menghargai keberagaman, juga harus sadar diri bahwa manusia itu memiliki keterbatasan. Seorang santri tidak boleh memonopoli kebenaran, artinya memaksakan bahwa pendapatnya adalah yang paling benar. Santri harus terbuka dan mampu menghargai pendapat lainnya, meskipun itu berbeda. Jika tidak cocok atau tidak sesuai dengan pendapatnya, santri harus dapat bicara dengan arif dan berjiwa besar, sehingga tidak asal menyalahkan yang lainnya," Tuturnya.
Lebih lanjut lagi Menag RI itu mengatakan, santri perlu menghargai tradisi (budaya lokal). Sebagai generasi yang identik dengan kitab klasik (kitab kuning, red), santri harus bisa menjaga budaya lokal di tengah banyaknya masyarakat yang lebih suka budaya barat dibandingkan dengan budaya lokal.
"Untuk mengaktualisasikan nilai-nilai Islam yang ada, santri harus memiliki wadah untuk mengimplementasikannya, wadah itu dapat melalui budaya lokal. Santri harus bisa menghargai dan menjaga tradisi supaya tidak hilang. Karena di zaman modern ini, banyak yang mulai melupakan tradisi-tradisi budaya lokal dan berbelok lebih suka mengikuti gaya-gaya Barat. Namun bagi santri, yang notabene adalah mendalami Islam melalui kitab kuning, itu merupakan salah satu contoh dalam menjaga tradisi yang ada," Tegasnya.
Terakhir, ia mengatakan seorang santri harus cinta kepada tanah air karena pendahulu mereka adalah pejuang yang rela berkorban dan berjuang untuk negaranya.
"Hidup di negara yang berasaskan Pancasila, santri dituntut untuk memiliki nasionalisme yang tinggi. Meskipun dalam kesehariannya seorang santri lebih mendalami ilmu agama (Islam), namun seorang santri juga tidak lepas dengan kehidupan berbangsa dan bernegara. Santri harus memiliki rasa cinta tanah air karena tanah air ini adalah tanah yang telah diperjuangkan oleh ulama-ulama terdahulu," Pungkasnya. [Rep. Zein/Red. Alan]
KOMENTAR