Sang Legenda Sapardi Djoko Darmono di Semarang |
Pukul 17.09 WIB, akhirnya kami berhasil menjejakkan kaki di toko buku Gramedia lantai 2, dimana Sapardi ada. Dan meski acara baru dimulai sembilan menit sebelum kami datang, pengunjung telah membludak memenuhi lokasi. Sebuah antusiasme atas kedatangan maestro syair Indonesia asal Surakarta yang baru berulang tahun ke-77 itu.
Seorang mahasiswi asal kampus Universitas Diponegoro Semarang, Fanada, merasa terkagum dengan sosok maestro ini, sehingga membawanya rela berdesakan untuk melihat secara langsung petang itu.
“Pada usia ke-77, Tujuh buku karya beliau kembali diluncurkan. Bagi saya, itu pencapaian yang luar biasa,” ungkap manis mahasiswi semester akhir di kampusnya itu dengan wajah terkagum-kagum.
Mengenai peluncuran kembali Tujuh buku di Semarang ini, Sapardi tidak membantah jika hal tersebut memang sengaja ia lakukan sebagai perayaan ulang tahunnya yang ke-77. Tujuh buku di usia 77 di tahun 2017, Sebuah angka cantik tersebut menurutnya hanyalah takhayul yang tak layak dipercayai sebagai angka keberuntungan. Namun, atas desakan dari berbagai pihak ia pun akhirnya setuju. “Ya, biar pun takhayul toh akhirnya kejadian juga,” Ia bercerita sembari diikuti anggukan para hadirin.
Tujuh buku miliknya tersebut yakni; Sutradara Itu Menghapus Dialog Kita, Kolam, Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro?, Namaku Sita, Dukamu Abadi, Pingkan Melipat Jarak dan Ayat-Ayat Api.
Alih Wahana Karya Sapardi
Kelincahan pemantik acara sore itu, yang telah mampu menggiring pembicaraan ke perbincangan yang lebih menarik membuat suasana gedung Gramedia semakin intens. Sedikit banyak, pembawa acara menyinggung tentang alih wahana karya Sapardi yang tidak hanya sampai pada Novel, tapi kan juga berupa lagu, film, bahkan gambar.
Ketika ditanya tanggapan mengenai alih wahana tersebut, Sapardi berkata, “Saya penyair yang punya kebebasan sendiri, begitu juga dengan mereka yang mengalihwahanakan karya saya. Bagus tidaknya produk alih wahana itu bukan urusan saya,” ungkap penulis novel mashur Hujan Bulan Juni itu.
Masih tentang alih wahana karya sastra Sapardi, pembawa acara juga menanyakan rencana pengangkatan novel “Hujan Di Bulan Juni” ke layar lebar, apakah Sapardi turut andil dalam pembuatan film tersebut ataukah tidak.
Sapardi menjawab, “Tidak. tapi kalau mereka mau saya ikut campur ya harus bayar lagi. Lah, saya butuh uang kok.” Lalu gemuruh tawa ratusan kepala di acara yang semakin akrab petang itu.
Sapardi tidak sepakat dengan pernyataan jika karya sastra yang dialihwahanakan, maka nilai estetika karya sastra tersebut berkurang. Baginya, karya yang dialihwahanakan menjadi milik pengalihwahana, tidak ada ketersangkutan dengannya. Ia bahkan tidak khawatir jika film Hujan Di Bulan Juni nanti tidak sesuai dengan ekspektasi pembaca.
“Film ya harus berubah. Kalau enggak, untuk apa difilmkan? Mending beli novelnya saja,” selorohnya.
Sapardi beralasan jika kata-kata tidak dapat begitu saja divisualisasikan. Sebab pada hakikatnya mereka berbeda. Sebagai contoh, ketika mendeskripsikan kulit Siti Nurbaya yang begitu bening, sehingga tatkala ia minum air, alirannya seakan terlihat dari tenggorokan.
“Nah, itu kalau dijadikan film, nanti kan berubah jadi film horor?” Candanya di sela penjelasan.
Tentang Karya dan Harapan Legenda
Sekitar 45 menit sejak dimulainya acara “Bincang Sore bersama Sapardi Djoko Damono”, tibalah saat di mana pembawa acara mempersilahkan beberapa pengunjung bertanya pada maestronya ini. Banyak dari mereka yang mengacungkan tangan, hendak bertanya. Lebih lagi, tiap penanya akan diberi hadiah eksklusif berupa buku.
Salah satu audiens yang beruntung sore itu adalah Michael, seorang mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, yang sengaja datang jauh-jauh dari kota Yogyakarta demi menghadiri bertemu dengan Sapardi yang begitu melegenda.
Lelaki berkacamata itu menyibak kerumunan penonton untuk berdiri tepat dihadapan Sapardi. Dengan mengenakan setelan kasual berwarna hitam, ia dengan percaya diri memberondong Sapardi pertanyaan. Dua diantara pertanyaan Michael adalah tentang karya Sapardi yang terasa berbeda di tiap buku-bukunya serta makna harapan bagi seorang Sapardi.
Menjawab pertanyaan tentang karya yang dirasa beda tersebut, Sapardi menegaskan, “saya enggak mau menjiplak diri sendiri ketika menulis sebuah karya. Bagi saya itu haram. Kalau buku-buku saya sama, ngapain saya bikin? Ketika saya menulis, sebenarnya saya melakukan hal yang baru,” jawabnya.
Berbeda ketika ditanyai tentang makna harapan bagi seorang Sapardi, ia tampak sedikit kebingungan. Diusianya yang sudah senja, ia mengakui jika makna harapan yang dulu diyakininya telah berubah seiring dengan berjalannya waktu.
“Saya susah menjawab karena sudah tua. Tapi saya ingin setiap saat bisa nulis, lalu karya saya dibaca. Sebab, dari sana saya merasa telah memberikan sesuatu kepada para pembaca saya.”
Langit kota Semarang telah menghitam, perjumpaan dengan legendaris Sapardi Joko Damono harus segera berakhir, dan ini adalah sebuah cerita tersendiri di kota perantauan ini. [Etika/Rina].
KOMENTAR