Generasi masa depan Indonesia
terancam, seiring dengan beredarnya vaksin palsu. Masyarakat yang merasa
dirugikan semakin kalang-kabut akibat ketidakjelasan informasi dari pemerintah
maupun lembaga terkait. Pemerintah pun dianggap tidak serius dalam menangani
kasus ini.
Dilansir KOMPAS 21 Juli
2016, para orangtua merasa bingung akibat pemerintah tidak memberikan kejelasan
siapa saja anak yang harus divaksin ulang. Orangtua korban menuntut keterbukaan
informasi dari pemerintah terkait apa saja yang diketahui dalam kasus pemalsuan
vaksin, apa yang belum diketahui, dan apa yang tengah dilakukan.
Tidak hanya itu, pihak rumah
sakit yang disebut memakai vaksin palsu pun turut mengalami kebingungan.
Pasalnya mereka merasa tidak pernah mendapatkan edaran resmi dari Kementrian
Kesehatan (Kemenkes) terkait perusahaan yang dinyatakan resmi atau tidak resmi
sebagai penyedia alat kesehatan.
Kasus pemalsuan vaksin tak bisa
dianggap sepele, karena menyangkut kualitas kesehatan generasi masa depan Indonesia.
Kasus ini merupakan tindak kejahatan kemanusiaan berat, pemerintah harus
mengambil tindakan tegas dan mengusutnya hingga tuntas.
Ancaman bagi Generasi Masa Depan
Penggunaan vaksin palsu memiliki
dampak dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Dampak jangka pendeknya, pengguna
vaksin palsu akan mengalami infeksi, mulai dari infeksi ringan hingga sistemik.
Dampak jangka pendek ini lebih disebabkan oleh bahan yang dicampurkan ke dalam vaksin.
Sementara jangka panjangnya, akan
berpengaruh pada sistem kekebalan tubuh seorang anak. Kekebalan tubuh dari
pengguna belum siap ketika berhadapan dengan penyakit tertentu, Polio misalnya.
Sehingga seseorang yang tidak divaksinasi harus merasakan sakit terlebih
dahulu, sebelum kebal terhadap penyakit Polio.
Melihat dampak penggunaan vaksin
palsu di atas, pemerintah masih belum banyak melakukan tindakan. Pemerintah
hanya menganjurkan kepada orangtua untuk melakukan vaksinasi ulang kepada
anak-anaknya yang diduga menjadi korban. Namun anjuran tersebut malah membuat
orangtua dan rumah sakit kebingungan. Koordinasi antara pemerintah dan rumah
sakit dalam menangani kasus ini dirasa tidak terjalin baik.
Semenjak kasus ini terungkap pertengahan Juni
lalu, pihak kepolisian baru menetapkan 20 tersangka. Ini merupakan jumlah yang
masih sangat sedikit, mengingat tindak kejahatan ini telah dilakukan selama 13
tahun.
Bedasarkan pengakuan produsen
vaksin palsu, Rita Agustina, ia melakukan tindakan ini karena motif ekonomi
untuk memenuhi kebutuhan hidup sehar-hari. Alasan ini sangat konyol dan tidak
masuk akal. Bagaimana mungkin transaksi yang bernilai puluhan juta rupiah
setiap minggunya digunakan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari? Bisa
dibayangkan betapa mewahnya kehidupan para pelaku pemalsu vaksin.
Patut dicurigai ada motif lain
yang lebih masuk akal selain faktor ekonomi. Salah satunya adalah hasrat dari
oknum tertentu yang ingin merusak kualitas dan kuantitas sumber daya manusia
Indonesia dalam jangka panjang. Pemalsuan vaksin menjadi pilihan yang tepat,
tak terendus oleh masyarakat bahkan pemerintah. Buktinya bisnis kejahatan ini
mampu bertahan selama 13 tahun.
Pemerintah perlu mengingat bahwa
negara ini akan menyongsong bonus demografi pada tahun 2025 – 2035 mendatang.
Dalam kurun waktu tersebut, Indonesia akan didominasi oleh penduduk berusia
produktif. Sehingga pemerintah harus mempersiapkan generasi emas tersebut mulai
dari sekarang, agar bisa memanfaatkan bonus demografi dengan maksimal.
Teror Berkepanjangan
Kasus pemalsuan vaksin
akhir-akhir ini bisa dikatakan memiliki dampak psikologis yang setara dengan tindak
terorisme. Tujuan utama dari aksi teror adalah menebar ketakutan di masyarakat.
Begitu pun yang terjadi dengan kasus pemalsuan vaksin, orangtua panik, takut, dan
merasa khawatir dengan kondisi kesehatan anak mereka. Lebih dari itu, kepanikan
ini telah terjadi selama kurang lebih satu bulan.
Hari ini, 23 Juli, bertepatan dengan
Hari Anak Nasional menjadi momentum bagi pemerintah untuk mengevaluasi
perlindungan dan perlakuan terhadap anak. Pemerintah sering bertindak
terlambat, baru bergerak setelah ada kasus yang timbul ke permukaan, seperti
kasus pemalsuan vaksin belakangan ini.
Sebagai bagian dari warga negara,
anak Indonesia berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi, seperti yang termaktub dalam UUD 1945 pasal 28
B ayat 2. (Lee)
KOMENTAR