Ketika
mendengar kata radikal atau radikalisme, kebanyakan orang sekarang memaknainya dengan tindakan anarkis. Makna radikalisme tersebut seakan telah
direduksi oleh sebuah konstalasi politik yang menggunakan pola agama sebagai
jalannya. Hal ini tentu akan menimbulkan sebuah dilema perspektif yang berujung positif atau pun
negatif baik pemikiran maupun tindakan yang dialami masyarakat.
Kata Radikal
sebenarnya berasal dari bahasa Latin yaitu radix
(akar pohon). Berdasarkan makna tersebut, orang
yang radikal sebenarnya mereka yang
mengerti sebuah permasalahan sampai ke akarnya. Biasanya mereka lebih
sering memegang teguh sebuah prinsip, dibandingkan
orang yang tidak mengerti akar permasalahan.
Dalam
perspektif pemaknaan, ada yang mendefinisikan radikal
sebagai hal yang positif. Misalnya, seorang muslim
bisa dikatakan radikal ketika ia selalu menanyakan banyak hal secara mendalam terkait Islam. Ia berusaha
mencari kebenaran Islam, sehingga akan didapatkan pemahaman yang benar-benar sampai
ke akar.
Namun ada pula yang memaknai radikalisme sebagai
satu hal yang negatif. Hal ini dapat dilihat dari penilaian kebanyakan
masyarakat yang menganggap bahwa salah satu kelompok yang dianggap radiakal,
Islamic State of Irak and Siria (ISIS) , sebagai perusak perdamaian dunia.
Terlepas dari itu semua, sebenarnya ada hiden agenda dari oknum tertentu
yang memiliki kepentingan di balik itu semua.
Politisasi dan Propaganda Media Sosial
Hiden agenda tersebut berupa upaya
politisasi gerakan radikal. Misalnya ISIS, diduga sengaja
diciptakan dengan mengatasnamakan Islam yang bertindak brutal. Hal ini tentu mencemarkan nama baik agama Islam itu sendiri. Padahal, Islam
mengajarkan untuk menjadi agama yang toleran dan damai. Maka tak heran jika
unsur kekerasan akan selalu melekat dalam Islam, karena orang awam hanya melihat Islam dari gerakan radikal
tersebut.
Jika sudah demikian, peran pemerintah dalam menangkal radikalisme yang berujung pada kekerasan sangatlah penting. Berdasarkan pemberitaan
media, pemerintah melaui TNI dan Polri telah berupaya kuat untuk mempertahankan
kedaulatan negeri ini. Namun masih ada saja teroris yang bisa meloloskan diri,
dan merekrut anggota-anggota baru.
Mengapa rantai perekrutan tersebut tak pernah
terputus? Peranan media massa menjadi salah satu
penyebabnya. Para teroris bisa saja menyebarkan
informasi propaganda dan bahan
penyusun strategi teroris agar orang lain dapat mengikuti jejak mereka. Begitu
pula bagi kelompok radikal, media bisa menjadi sarana untuk menyebarkan
paham-paham mereka.
Akan berbeda jika
media masa, terutama internet, juga lebih banyak menyajikan informasi tentang anti terorisme. Hal ini dibutuhkan
untuk bisa menjawab keingintahuan generasi
muda agar tidak direkrut oleh kelompok radikal.
Selain media massa, pencegahan gerakan radikal pun
bisa dilakukan melalui jalur pendidikan. Dunia
pendidikan yang merupakan sarana penanaman bibit potensial bagi masyarakat, bisa dimanfaatkan
sebagai media penguatan ideologis yang positif. Upaya ini bisa dilakukan dengan menanamkan
sikap kritis dari beragam pandangan yang diterima agar para pelajar bisa
membedakan pandangan-pandangan tersebut.
Menjadikan
pola pikir yang skeptis merupakan solusi yang patut dicoba, karena dapat menjadikan seseorang tidak mudah
menerima suatu pendapat sebelum ia menemukan sendiri jawabannya. Inilah radikal
yang ideal, radikal yang membawa pada hal yang positif. Ia tidak akan mudah
menyimpulkan sebelum mengetahui sesuatu sampai ke akarnya. Usaha untuk
membentuk pola pikir yang seperti itu, sekaligus berperan untuk menjaganya
dapat diperoleh dari pendidikan tingkat pertama, yaitu keluarga. (Qorina)
KOMENTAR