![]() |
Dunia dalam Genggaman |
Manusia menciptakan inovasi, namun seringkali tidak mampu mengendalikannya. Seperti halnya Internet, bom atom, dan inovasi lain yang perkembangannya saat ini kian tak terkendali. Manusia berhak untuk merevolusi peradaban, namun nampaknya Tuhan lebih berhak merevolusi hasil pemikiran manusia yang revolusioner.
Julius Robert Oppenheimer, seorang jenius lulusan Harvard University, menciptakan bom atom sebagai alat untuk mewujudkan perdamaian dunia. Namun ia sangat menyesal dengan ciptaannya, karena kenyataannya dari waktu ke waktu, bom atom lebih banyak digunakan sebagai alat penebar teror dan piranti pembunuh manusia yang paling efektif. Bahkan saat ini telah dikembangkan berbagai macam varian bom, mulai dari bom genetik, hingga bom yang jangkauan ledakannya mencapai ribuan kilometer persegi.
Indonesia dalam Ancaman Bom
Ledakan bom ibarat demokrasi yang dirumuskan oleh Abraham Lincoln, berawal dari manusia, dibuat oleh manusia, ditujukan untuk manusia. Kita terpaksa menghadapi dampak positif maupun negatif dari adanya bom. Sebab, demikianlah yang diwariskan oleh peradaban dan segala kemajuannya. Coba bayangkan, seandainya Amerika tidak menjatuhkan bom atom di kota Nagasaki dan Hiroshima, Jepang, tahun 1942 lalu. Mungkin bangsa Indonesia tidak bisa merayakan kemerdekaannya dan harus bekerja rodi lebih lama di bawah jajahan Jepang.
Berbicara soal bom, pasti akan terlintas pula dibenak kita tentang aksi terorisme. Entah sejak kapan, aksi terorisme selalu diidentikkan dengan peledakkan bom. Aksi peledakkan bom oleh teroris, mulai terjadi di Indonesia sejak tahun 1985, berwujud peledakan bom di berbagai tempat. Bom di Bali, Kedubes Australia, Gereja Ambon, Masjid Mapolresta Cirebon, dan terakhir di Starbuck Jakarta.
Jika melihat aksi peledakan bom yang telah terjadi, para teroris seakan semakin kegirangan dan terus menerus menebar terornya. Hal ini terbukti dari tahun 1985-2016 aksi terorisme di Indonesia mengalami peningkatan yang signifikan. Di satu sisi, aparat keamanan negara nyaring berceloteh bahwa kondisi keamanan nasional sangat teruji dalam mengatasi berbagai bentuk ancaman khususnya terorisme. Namun kenyataannya, aksi terorisme masih saja terus terjadi.
Kenapa terorisme sangat sulit diberantas, bahkan terus menerus berkembang? Apakah memang keamanan nasional kita yang kurang cerdas dan sigap mengatasi aksi terorisme? Apakah benar yang diungkapkan oleh kepolisian bahwa terorisme yang terjadi dilatarbelakangi oleh unsur ideologi dan sentimen agama? Ataukah sebenarnya ada kepentingan oknum tertentu yang berlindung di balik topeng kaum ekstrimis yang selama ini kita yakini sebagai pelaku terorisme?
Terorisme?
Kata terorisme muncul pada akhir abad ke-19, menjelang perang dunia I. Berasal dari bahasa Perancis Le terrour, yang digunakan untuk menyebut tindak kekerasan yang dilakukan oleh pemerintah hasil revolusi Perancis dengan cara memenggal 40.000 kepala yang dituduh anti pemerintah. Hal serupa terjadi di Rusia, kata terorisme digunakan untuk tindak kekerasan yang dilakukan oleh kaum anti pemerintah. Kesimpulannya, terorisme digunakan untuk menyebut tindak kekerasan, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun kaum anti pemerintah.
Sekarang, coba kita bandingkan dengan definisi terorisme di atas, dengan realita kasus terorisme yang terjadi saat ini. Sepertinya kita musti jeli dalam menganalisa pelaku dan motif yang sebenarnya dari aksi terorisme, apalagi di tengah era yang sulit membedakan antara benar atau salah, pun di era memanfaatkan atau dimanfaatkan. Kita sebagai warga negara yang hidup di negara berkembang, sadar atau tidak sadar, seringkali dipecundangi, dimanfaatkan, bahkan dijadikan obyek eksperimen oleh negara-negara maju seperti Amerika.
Fenomena terorisme yang menggegerkan dunia menurut berbagai sumber literatur maupun banyak pakar, dilatarbelakangi oleh berbagai motif. Namun sudah terpatri dalam benak masyarakat Indonesia pada umumnya, bahwa aksi terorisme selalu berkaitan dengan aksi jihad, usaha pendirian negara Islam beserta segala ideologi fundamentalnya. Mereka tak lagi berpikir skeptis, bahwa bukan tidak mungkin jika aksi teroris sengaja dibiarkan untuk melindungi hidden agenda dari oknum-oknum tertentu. Kepentingan politik dan ekonomi, misalnya.
Negara maju dan negara berkembang memiliki pasukan militer yang lihai berperang lengkap dengan senjata yang ampuh dan canggih. Anehnya, militer masih belum mampu membumihanguskan aksi terorisme yang mengancam kedaulatan negara. Jika US Army bisa memporakporandakan negara Irak dalam waktu yang singkat, harusnya mereka pun mampu meniadakan para teroris yang kalah jumlah maupun persenjataannya.
Begitu sulitkah menaklukan kelompok teroris ataukah ada kepentingan tersembunyi di balik aksi terorisme ini? Bisa jadi terorisme dimanfaatkan sebagai momentum revolusi pengetahuan dalam kategori persenjataan oleh negara-negara maju. Revolusi tersebut mengusung misi utama untuk melegalkan kembali senjata nuklir, atas alasan yang sama seperti yang telah terjadi di Nagasaki-Hirosima, Jepang 1942 silam.
Peran Media Massa
Media massa adalah hal yang paling berpengaruh dalam kehidupan manusia di era digital, namun seringkali mereka tak menyadarinya. Teroris pun ikut memanfaatkan media massa untuk menyebarkan teror yang lebih massive. Para teroris dapat dengan mudah mengunggah ancamannya ke situs YouTube, dalam waktu singkat, seluruh dunia akan mengetahui eksistensi mereka. Seperti halnya yang dilakukan oleh ISIS pada masa awal kemunculannya.
Tampaknya teroris bukanlah kelompok yang buta akan teknologi, malahan mereka mampu beradaptasi dengan teknologi. Terorisme di era virtual tak hanya diwujudkan dalam serangan fisik di dunia nyata, seperti pembunuhan, penembakan, serta peledakan bom. Lebih dari itu, teror terhadap mental pun perlu dilakukan melalui dunia maya berupa ancaman-ancaman atau pun sekadar pengenalan eksistensi diri di media sosial.
Teror terhadap mental bukanlah hal yang sulit dilakukan, mengingat masyarakat kini sangat menggantungkan hidupnya kepada teknologi, khususnya internet dan media sosial. Orang-orang tak lagi harus bercengkrama di beranda rumah, namun cukup menulis komentar di beranda Facebook masing-masing. Sulit membedakan antara hal yang maya dengan sesuatu yang benar-benar nyata.
Hal yang lebih ironis namun tidak banyak yang menyadari, menimpa netizen di Indonesia. Seringkali menelan mentah-mentah informasi yang ada di media sosial, tanpa melakukan analisa terlebih dahulu. Itulah sebabnya ketika media sosial mengemas sebuah informasi dengan gaya yang meyakinkan dan menarik, netizen Indonesia akan langsung percaya begitu saja. Tidak percaya? Tengok saja peristiwa bom Tamrin pada awal tahun 2016 lalu.
Melihat pemberitaan tentang meledaknya bom di Jl. M.H. Tamrin (14/01) yang begitu ramai di media sosial, menimbulkan beragam sikap di kalangan netizen. Ada yang merasa takut dan simpatik, yang diwujudkan dengan hastag #prayforjakarta. Berlawanan dengan keadaan itu, ada pula oknum yang sok berani dan menganggap bahwa masyarakat Indonesia tak akan takut dengan aksi terorisme dengan membuat hastag #kamitidaktakut. Bahkan aksi-aksi terorisme yang sebelumnya dianggap menyeramkan, oleh sebagian netizen dijadikan sebagai bahan lelucon yang diwujudkan dalam meme.
Berbagai respon dari netizen tersebut, toh, hanyalah sekadar kicauan di media sosial. Tidak ada aksi riil yang mereka lakukan di dunia nyata, itu berarti analisis dan pencarian solusi terhadap masalah tersebut jelaslah nihil.
Pentingnya Kesadaran Sejarah
Sudah sepatutnya kita harus skeptis terhadap fenomena yang terjadi di era digital, di mana sekat antara benar dan salah telah hampir menghilang. Jangan sampai kita menjadi korban dari eksperimen yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu yang tidak bertanggung jawab. “Lempar batu sembunyi tangan,” begitulah peribahasa Indonesia mengatakan. Di sisi lain, jangan melupakan bahwa zaman dan bangsa kita saat ini merupakan bagian kecil dari sejarah dunia. Barang kali, zaman dan bangsa kita hanya menjadi prototype dari sebuah peradaban yang gemilang.
Bapak sejarah, Herodotus mendefinisikan sejarah sebagai salah satu kajian untuk menceritakan suatu putaran jatuh bangunnya seorang tokoh, masyarakat, dan peradaban. Sejarah tak bisa muncul begitu saja tanpa ada yang menuliskan atau pun menuturkan, sejarah pun tak mungkin ditulis oleh orang-orang yang tak memiliki kekuasaan. Maka dari itu sejarah selalu ditulis oleh orang-orang yang menang, sedangkan pemenang adalah mereka yang memproduksi bukan mengkonsumsi.
Aksi terorisme bisa menjadi salah satu bagian dari motif desain sejarah baru. Inovasi dan mengembangkan pengetahuan dan teknologi adalah aksi dari si pembuat dan perubah sejarah. Seperti Oppenheimer yang telah berhasil merubah sejarah melalui bom atom buatannya, atau seperti Amerika yang selalu menjadi garda terdepan dalam keputusan dan kemajuan.
Negara-negara berkembang, khususnya Indonesia akan sulit untuk keluar dari desain sejarah yang diciptakan oleh negara-negara maju. Keadaan tersebut terjadi karena ulah bangsa Indonesia sendiri. Jika saja bangsa ini mau memanfaatkan tantangan dan peluang sekecil apapun, tentu kita akan mampu keluar dari kungkungan dominasi negara-negara maju. Namun tampaknya struktur pengetahuan bangsa kita masih jauh terjebak dalam krisis, dilema, dan romantisme masa lalu. Lantas, kapankah bangsa kita akan mampu menciptakan sebuah catatan sejarah baru? Apakah impian menjadi negara maju hanya akan menjadi mitos selamanya?[k]
KOMENTAR