Majalah IDEA, Edisi-23, April 2006, "Agamaku Filsafatku" |
“Dok, mengapa setiap melihat benda apa saja, selalu saja yang kulihat adalah perempuan bugil?”
Kemudian sang dokter mencoba mengetes laki-laki itu. Dokter menggambar sebuah segi tiga dan bertanya, “Gambar apa ini?”
“Perempuan bugil!”
Dokter menggambar sebuah segi empat, “Apa ini?”
“Perempuan bugil!”
Dokter menggambar sebuah lingkaran, “Apa ini?”
“Perempuan bugil!”
Kata dokter berkesimpulan, “Wah, pikiran Bapak ini ngeres.”
“Lho, khan dokter yang ngeres, dari tadi yang digambar perempuan bugil melulu!”
Kata orang, kepala boleh sama hitamnya. Tapi isi kepala sudah pasti berbeda-beda. Itu sebabnya mengapa RUU Anti-Pornografi dan Pornoaksi tidak juga selesai. Definisi kedua jenis porno ini sendiri sejak bertahun-tahun lalu tidak pernah ada kata mufakat. Orang bilang yang ngebor Inul itu seni, yang lain bilang itu erotis. Pakaian you can see yang ketiaknya kelihatan, dulu dipandang tidak sopan untuk dipakai di depan umum. Sekarang pakaian you can see everything begitu banyak diumbar di televisi, majalah, poster, mall dan sebagainya. Barangkali dalam waktu tidak lama kita akan memasuki jaman Pornolitikum (ini istilah gawe-gawean saja biar keren, jadi jangan diperdebatkan istilah ini!).
Kita sebagai bangsa telah mengalami periode sejarah yang panjang. Dimulai dari era Paleolitikum, Mesolitikum, Neolitikum, hingga Megalitikum (ini istilah yang serius), lalu dilanjutkan periode Rajalitikum, Kolonialitikum, dan Revolusitikum (yang ini gawe-gawean). Pada era yang lebih mapan lagi kita mengalami ordelamatikum, ordebarutikum dan reformasitikum (ini juga masih gawe-gawean). Hasil nyata dari era terakhir ini, reformatikum, adalah kebebasan yang seluas-luasnya dengan satu aturan “tidak ada aturan”. Maka yang dulu tabu dan pamali sekarang tidak ada lagi, yang dulu dianggap porno sekarang porno adalah trend. Maka masuklah kita ke era pornolitikum.
Setiap periode sejarah ditandai dengan hasil kebudayaannya. Kalau jaman Megalitikum ditandai dengan kebudayaan batu besar, menhir, kubur batu, punden dan sebagainya. Maka era pornolitikum ini ditandai dengan menguatnya kebudayaan pornografi dan pornoaksi. Hal-hal yang awalnya tabu dan pamali, wal khusus, yang porno-porno, sekarang tidak hanya trend, tetapi menjadi begitu adiluhung, begitu mulia. Barangsiapa yang melakukan penyangkalan terhadap kemuliaan pornografi dan pornoaksi sebagai puncak kebudayaan, pastilah orang yang kuno, kolot, dan (mungkin) termasuk manusia purba. Barangkali begitu kata para artis, penyanyi, model, bintang film dan sinetron, serta wartawan infotaiment sebagai kelompok masyarakat strata atas dalam era pornolitikum ini.
Secara tradisional, hadirnya kebudayaan pada dasarnya jawaban terhadap kebutuhan masyarakat untuk survive. Keberadaan kebudayaan menjadi ruh masyarakatnya. Ia adalah soul, jiwa, dan mind yang menggerakkan perilaku, sikap dan kesadaran masyarakatnya. Dan seni menjadi gambaran yang paling nyata untuk memahami keadaan “rohaniah” masyarakat. Sedangkan di sisi lain dari itu, adalah peradaban, yang menunjukkan gejala rohaniah tadi dalam bentuknya yang fisikal.
Bagi masyarakat tradisional, rumah bukanlah sekedar tempat tinggal, melainkan cerminan kebersamaan, persaudaraan, solidaritas, dan sepenanggungan. Tarian, nyanyian, musik, puisi dan lukisan tidak hanya seni estetika belaka, tetapi ia lambang dari pengharapan kepada “Yang Transenden”, kegembiraan, pewarisan nilai, keyakinan, dan semangat hidup. Norma sosial atau hukum adalah rasa kepercayaan, semangat perlindungan, ikatan dan jaminan sosial, solidaritas dan penghormatan. Bekerja adalah rasa syukur, kesejahteraan, kerjasama, dan sebagainya.
Dalam pandangan Alija Izetbegovick (1997) Kebudayaan (cult, culture) adalah representasi dari suasana spirit masyarakat, cara pandang terhadap kedirian dan kemesraan (mikrokosmos dan makrokosmos), keterikatan dengan dimensi spiritual, rohaniah dan transendental. Kebutuhan manusia dan masyarakatnya untuk survive melahirkan gerak dan perilaku yang imanen, aktual dan kontekstual, dimensi ruang dan waktu dalam bentuk peradaban (civil, civilization) yang tak lain merupakan perwujudan fisikal dan kebudayaan. Hasil keadaban ini terwujud dalam bentuk bangunan-bangunan dan tata ruang kota, alat-alat produksi ekonomi, perlengkapan rumah tangga, sarana sosial, norma sosial, dan sebagainya. Berperadaban berarti berorientasi kepada kemuliaan dan kebaikan masyarakat.
Peradaban masyarakat tradisional selalu terpancar dari kearifan dalam memahami alam, nilai-nilai tradisi, dan penghargaan terhadap spiritualitas. Hasil kebudayaan terutama seni sangat terpengaruhi oleh kepercayaan keagamaan dan penghayatan terhadap keberadaan alam semesta ini. Pandangan seni tradisional dan seni Islam sama-sama memandang adanya kepaduan antara manusia, alam dan hubungan spirit antara keduanya. Dalam tradisi agama kuno, penghormatan terhadap alam sedemikian tingginya, bahkan dimaknai sebagai representasi kekuatan yang statusnya setara dengan Tuhan. Sedangkan Islam, pandangan ini dikoreksi, bahwa alam dan manusia tidak lain hanyalah ciptaan yang keberadaannya, keindahannya, dan kekuatannya tergantung pada karunia Allah. Oleh karena itu menurut Sayyid Hossen Nashr, spiritualitas seni Islam terletak pada konsep tauhid. Peradaban, kebudayaan, dan kesenian hadir sebagai saksi dan representasi dari keesaan Tuhan dan pengagungan atas-Nya.
Masyarakat modern yang dimulai sejak jaman renaissance, telah melahirkan budaya industrialisasi, tak terkecuali juga pada seni. Seni tidak lagi berorientasi pada masyarakat (art to society) tetapi seni adalah untuk seni itu sendiri (art to art). Seni menjadi bebas, independen, individualitik dan tidak memancarkan nilai kemuliaan kecuali personalitas senimannya sendiri. Hingga pada akhirnya seni benar-benar terbebas dari pertautan spiritualitas dan agama. Bahkan seni menjadi agama itu sendiri.
Industrialisasi dan globalisasi memungkinkan produksi massal, homogenitas, dan popular. Proses globalisasi menurut Arjun Appadurai (1990), terlihat dalam lima dimensi: ethnoscapes, mengalirnya imigran dan turis ke berbagai negara; technoscapes, terciptanya mesin-mesin dan pabrik industri di semua pelosok negeri; finanscapes, mengalirnya pertukaran uang dan saham dalam konsep pasar bebas; mediascapes, melimpahnya arus informasi melalui media ke berbagai negara; dan ideoscapes, menderasnya gerakan ideologis terutama dari Barat semisal kebebasan, HAM, demokrasi dan sebagainya.
Terutama melalui teknologi komunikasi dan informasi yang semakin canggih, bangsa yang dominan akan melakukan proses manipulasi pesan untuk memenuhi kepentingan politik, ekonomi dan budaya yang disebarkan ke negara-negara berkembang.
Pada akhirnya gaya hidup Barat menjadi acuan banyak orang di berbagai belahan dunia. Identitas lokal, seperti adat istiadat, niali, seni, norma bahkan orientasi hidup yang plural berganti oleh budaya massa yang homogen dengan Barat sebagai acuan. Kebebasan, indivudualisme dan hedonisme menjadi ideologi budaya yang diterima tanpa reserve. Sementara kearifan tradisi, ajaran agama, norma etika dipandang penghalang kemajuan dan lambang keterbelakangan.
Tercerabutlah nilai-nilai kehidupan dari akar tradisi telah melahirkan ketimpangan budaya.
Keindahan dan kemegahan yang diciptakan melalui kebudayaan dan peradaban tidak semakin memuliakan masyarakat, tetapi semakin menguras nilai dan spirit harmoni, keselarasan dan kepaduan antar manusia, antara manusia dengan alam, antara yang fisikal dan spiritual. Semakin lama budaya yang tersisa dan menjadi anak jaman ini seperti raga tanpa jiwa.
Keindahan dan kemegahan yang diciptakan melalui kebudayaan dan peradaban tidak semakin memuliakan masyarakat, tetapi semakin menguras nilai dan spirit harmoni, keselarasan dan kepaduan antar manusia, antara manusia dengan alam, antara yang fisikal dan spiritual. Semakin lama budaya yang tersisa dan menjadi anak jaman ini seperti raga tanpa jiwa.
Tentu bukan pornografi atau pornoaksi, karya budaya yang tidak bermotifkan kemesuman. Kebudayaan pornolitikum ini tidak termasuk budaya perempuan desa yang hanya memakai kemben dan mandi di kali karena memang tidak punya MCK sendiri. Atau warga Papua yang memakai koteka karena tradisi adatnya, atau penari Bali yang hanya berkemben, karena semua itu tidak bermotifkan kecabulan.
Pornografi dan pornoaksi dalam era pornolitikum menyiratkan budaya yang mengagumkan tubuh, sensualitas, dan erotisme yang tergerakkan oleh dorongan libido. Tidak sekedar tubuh, paha, atau dada atau pundak, tetapi apa yang dimunculkan adalah motif kemesuman.
Pornografi dan pornoaksi muncul sebagai bentuk dari peneriamaan kita terhadap ideologi kebebasan dan hedonisme. Kebebasan semestinya memberi ruang untuk melakukan perbaikan, pemuliaan, dan peningkatan kualitas kehidupan. Namun yang terjadi adalah sebaliknya, kebebasan dipandang sebagai bebas dari agama, norma, etika dan pemuasan kesenangan-kesenangan di dunia ini. Kebahagiaan yang kita cari sekarang ini adalah kesenangan duniawi, yang fisikal, yang temperamental, bukan kebahagiaan yang hakiki, kebahagiaan yang meningkatkan kualitas spiritual.
Bagaimana implikasi pornografi dan pornoaksi itu terhadap mentalitas, moralitas dan kejiwaan anak-anak generasi kita? Kita tidak peduli, karena barangkali sadar, sudah lama kita tak memiliki jiwa.
Inilah jaman pornolitikum, di mana tubuh dan sensualitas menjadi perlengkepan ritual. Kebudayaan dan peradaban dibangun untuk memuaskan sang maharaja hawanafsu. Kata-kata cabul, gambar-gambar merangsang menjadi dzikir dan kitab suci yang ditadarusi setiap hari. Pikiran kita diset sedemikian rupa sehingga memandang apapun sesuai dengan pandangan ideologi porno. Tari-tarian menjadi goyangan erotis, musik dan lagu terdengar sensual, bahkan bentuk-bentuk mobil, bangunan, meja-kursi, handphone pun terlihat seksi, hingga ceramah ustadz Jefri pun dibilang, “Subhanallah, ini ceramah seksi sekalee” [] Jeteha, Feb-06*
*Tulisan ini telah diterbitkan di majalah IDEA edisi-23, April-2006, Agamaku Filsafatku, dalam rubrik “Goresan” oleh Joko Tri Haryanto
KOMENTAR