Pembicara sedang menyampaikan materi diskusi |
Ashoka Siahaan selaku ketua PKIP mengatakan, secara substansi kita tidak memperdebatkan lagi Pancasila, namun secara epistemologis perlu menjadikan pancasila menjadi ideologi terbuka yang bisa digerakkan dan menggerakkan secara kritis menghadapi berbagai macam realitas kehidupan. Seperti masalah ekonomi, pertanian, politik dan budaya.
Hampir senada, Aidul Fitriciada Azhari menjelaskan, sebagai Ideologi postkolonial Pancasila harus dilihat dari sudut pandang epistemologi sehingga dapat terumuskan sebagai Ideologi kritis, transformatif, dan identitas nasional bagi suatu negara nasional yang merdeka. Pancasila adalah kaidah hukum norma, dalam makna sebagai Ideologi kritis, Pancasila menjadi Ideologi yang bersifat kritis terhadap sistem kapitalisme-liberal yang dibangun oleh kolonialisme Barat di Indonesia khususnya dan di seluruh dunia pada umumnya.
“Kemudian Pancasila tidak berhenti dalam ranah gagasan melainkan Bergerak ke arah praksis yang bersifat transformatif menuju pembentukan sistem sosial, ekonomi, dan politik yang berkeadilan sosial. Selain sebagai kekuatan kritis dan transformatif, Pancasila adalah juga perwujudan dari nilai-nilai tradisi yang hidup dan berkembang di tengah masyarakat Indonesia. Sejalan dengan dimensi kritis dan transformatif, maka nilai-nilai identitas nasional yang dimaksud adalah nilai-nilai yang mendorong ke arah terbentuknya sistem sosial-budaya, ekonomi, dan politik yang berkeadilan social,” tambahnya.
Pengamat politik MT. Arifin juga menjelaskan, Ideologi Pancasila harus memenuhi persyaratan yaitu dilihat dari dimensi realitas Ideologi, dilihat dari dimensi Ideologi, dan dilihat dari dimensi fleksibilitas Ideologi. Dalam konsolidasi demokrasi Pancasila sebagai sistem nasional yang diterjemahkan ke dalam teori sosial. Setidaknya, kaitan dengan gagasan tersebut menekankan perlunya pengembangan dua hal utama. Pertama, perluasan konsep-konsep Ideologis dan upaya demokratisasi mengingat demokrasi itu bukan sekedar menyangkut persoalan sistem, juga merupakan masalah budaya dan pilihan-pilihan dalam agenda publik. Kedua, perlunya sosialisasi konsep budaya demokrasi dalam Ideologi Pancasila secara konsisten dalam melaksanakan nilai-nilainya bagi kebebasan politik yang lebih besar dan diiringi kebijakan ekonomi yang lebih adil.
Lebih praksis, Totok Mardikanto mengatakan, bahwa Pancasila sebagai Ideologi Bergerak dalam bidang pertanian terbagi dalam tiga ranah yaitu budidaya, ekonomi, dan sosial budaya. Ketiga ranah tersebut dalam mekanisme kerjanya sering berbeda-beda setiap kali pergantian kepemimpinan nasional.
“Pertanian yang seharusnya terjiwai dalam nilai-nilai Pancasila yang bersifat gotong royong dan sama rata-sama rasa terdistorsi dari wilayah petani. Ranah budidaya yang harus diperhatikan adalah bagaimana intensifikasi pembangunan berkelanjutan keseimbangan, kelestarian, pertanian organik, dan produk yang sehat. Ranah ekonomi yang harus diperhatikan adalah berbasis subsisten, kemanfaatan, padat karya, daya saing, dan koperasi. Sedangkan untuk ranah sosial budaya yang harus diperhatikan adalah pelestarian nilai tradisi (kearifan lokal), gotong royong, sama rata-sama rasa, penerima manfaat sesuai korbanan yang tidak mengeksploitasi berkelanjutan,” jelas Totok.
Dengan adanya acara diskusi tersebut, Ahmad Alfian, mahasiswa asal UIN Walisongo yang hadir pada acara itu berharap agar diskusi mengenai pancasila di kalangan pemuda patut untuk digalakkan, oleh karena generasi muda sebagai penerus bangsa ini. “Kalau pemuda sudah acuh tak acuh dengan pancasila, bagaimana nasib bangsa ini untuk kedepannya?” ungkapnya. (Gigih)
KOMENTAR