Kofi Annan dalam masa kepemimpinanya di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mewacanakan human security untuk melindungi Hak Asasi Manusia (HAM) setiap orang. Isu tersebut adalah respon dari kontekstualisasi semangat zaman yang berubah. Pada masa perang dingin hanya ada istilah national security, dimana negara harus mampu menyediakan tentara untuk mengamankan negara dari serangan dari luar, maka fokus human security memperkhususnya menjadi bagaimana masing-masing negara menjamin keselamatan warganya dari berbagai ancaman dari luar ataupun dari dalam negeranya sendiri.
Dalam kajian ini negara harus mampu membuat suatu sistem dimana setiap warga merasa aman, nyaman dan tentram dalam menjalani kehidupanya sehari-hari. Seorang wanita yang selesai bekerja jam sembilan malam tidak seharusnya was-was saat menunggu angkot untuk pulang. Seorang pria tidak harus takut untuk pulang sendirian di tengah jalan raya saat tengah malam. Bahkan seorang remaja tamatan SMA/SMK tidak usah takut pula jika dia tidak akan mendapatkan kerja. Dalam abad milenium, semua itu harus dipikirkan oleh negara. Setiap negara harus mengupayakan human security secara sempurna.
Lantas sudahkah Indonesia melakukan konsep yang sudah digarap serius negara-negara berkembang di dunia? Menjadi pertanyaan besar saat konsep human security ini dibenturkan dengan fakta “pembegalan” yang akhir-akhir ini marak diperbincangkan. Kasus perampasan sepeda motor dengan berbagai modus operandi ini semakin hari semakin memprihatinkan. Penulis beranggapan tidak salah jika kita menuntut negara segera melakukan kewajibanya untuk mewujudkan konsep human security.
Penyebab yang Kompleks
Fenomena ini tentu rantai permasalahan yang berpangkal dari kapitalisme global. Bermula dari negara industri yang mengalami over produksi. Mereka terlalu banyak memproduksi sehingga pasar tidak mampu menyerap. Pasar bebas yang ditempuh untuk mengatasinya hanya mengakibatkan rantai permasalahan berikutnya, over konsumsi. Negara berkembang yanng warganya berkedudukan pada taraf menengah semakin banyak dan konsumtif. Tak terkecuali dalam masalah konsumsi sepeda motor.
Deler motor yang berderet-deret di kota metropolitan Indonesia, selain menyebabkan kemacetan, menjadi asal fenomena pembegalan yang dewasa ini ramai diperbincangkan. Kredit tidak beres, dijual tanpa STNK menjadi hal lumrah. Desa-desa yang jaraknya jauh dari Jakarta dibanjiri motor berplat B (kebanyakan tanpa STNK). Motor-motor bermasalah seperti ini yang awalnya menjadi sasaran pembegalan. Walaupun pada awalnya pembegalan semacam itu wajar karena dilakukan lembaga formal yang bekerjasama dengan kepolisisan.
Permasalahan sosial seperti ini tentu saja sangatlah kompleks penyebabnya. Secara ekonomi hal ini jelas rantai panjang dari kapitalisme global. Selain itu, melemahnya rupiah juga bisa menjadi indikator bagaimana gejolak pada masyarakat akar rumput tentang kesenjangan ekonomi mereka. Dengan inflasi yang melonjakkan harga kebutuhan pokok maka naluri survifat of the fitest (siapa kuat dia yang akan bertahan) mendorong berbagai kriminalisasi masyarakat akar rumput. Akumulasi kekecewaan kepada pemimpin yang tidak lagi bisa diharapkan mengangkat harapan hidup lebih baik semakin membuat fenomena begal ini tak terhindari.
Meskipun kebanyakan korban begal motor tanpa STNK, tapi motor dengan kelengkapan administrasi tak luput jadi sasaran. Fenomena begal harus ditindak serius. Undang Undang No 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial menyebutkan bahwa kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spritual dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Penulis ragu jika fenomena ini terus berkelindan, masyarakat akan mampu menjalankan fungsi sosialnya secara penuh.
Meskipun belum bisa disepadankan dengan bencana sosial seperti konflik yang berkelanjutam, terorisme, narkoba, setidaknya penanganan terpadu harus segera dilaksanankan. Lembaga seperti POLRI, yang memungkinkan ada kesatuan komando dari pusat samapai daerah adalah hal yang dibutuhkan. Memaksimalkan Satlantas untuk melakukan razia-razia malam di jalan sepi harus mulai digarap. Dengan segala potensi kekuatan yang ada, penulis rasa penadah terbesar (gembong) pembegalan sepeda motor bisa segera ditelusuri dan diberangus.
Dalam kajian pohon konflik, penanganan terpadu diatas tentu hanya menyinggung konflik di permukaan. Akar konflik yang paling kuat jelas kesejahteraan sosial masyarakat yang belum merata. Pemimpin negara ini seharusnya mau “berpuasa”. Puasa demi kesejahteraan sosial dengan syarat batal puasa jika gagal menahan nafsu korupsinya, batal jika gagal menelurkan peraturan yang menjamin kesejahteraan setiap warganya, batal saat mereka tidak peka membaca permasalahan rakyatnya. Fenomena begal yang meresahkan ini semakin mempertegas kota metropolitan di Indonesia memang tidak layak huni, Indonesia gagal total dalam human security.
*) Ketua Kelompok Studi Mahasiswa Walisongo Semarang
Dalam kajian ini negara harus mampu membuat suatu sistem dimana setiap warga merasa aman, nyaman dan tentram dalam menjalani kehidupanya sehari-hari. Seorang wanita yang selesai bekerja jam sembilan malam tidak seharusnya was-was saat menunggu angkot untuk pulang. Seorang pria tidak harus takut untuk pulang sendirian di tengah jalan raya saat tengah malam. Bahkan seorang remaja tamatan SMA/SMK tidak usah takut pula jika dia tidak akan mendapatkan kerja. Dalam abad milenium, semua itu harus dipikirkan oleh negara. Setiap negara harus mengupayakan human security secara sempurna.
Lantas sudahkah Indonesia melakukan konsep yang sudah digarap serius negara-negara berkembang di dunia? Menjadi pertanyaan besar saat konsep human security ini dibenturkan dengan fakta “pembegalan” yang akhir-akhir ini marak diperbincangkan. Kasus perampasan sepeda motor dengan berbagai modus operandi ini semakin hari semakin memprihatinkan. Penulis beranggapan tidak salah jika kita menuntut negara segera melakukan kewajibanya untuk mewujudkan konsep human security.
Penyebab yang Kompleks
Fenomena ini tentu rantai permasalahan yang berpangkal dari kapitalisme global. Bermula dari negara industri yang mengalami over produksi. Mereka terlalu banyak memproduksi sehingga pasar tidak mampu menyerap. Pasar bebas yang ditempuh untuk mengatasinya hanya mengakibatkan rantai permasalahan berikutnya, over konsumsi. Negara berkembang yanng warganya berkedudukan pada taraf menengah semakin banyak dan konsumtif. Tak terkecuali dalam masalah konsumsi sepeda motor.
Deler motor yang berderet-deret di kota metropolitan Indonesia, selain menyebabkan kemacetan, menjadi asal fenomena pembegalan yang dewasa ini ramai diperbincangkan. Kredit tidak beres, dijual tanpa STNK menjadi hal lumrah. Desa-desa yang jaraknya jauh dari Jakarta dibanjiri motor berplat B (kebanyakan tanpa STNK). Motor-motor bermasalah seperti ini yang awalnya menjadi sasaran pembegalan. Walaupun pada awalnya pembegalan semacam itu wajar karena dilakukan lembaga formal yang bekerjasama dengan kepolisisan.
Permasalahan sosial seperti ini tentu saja sangatlah kompleks penyebabnya. Secara ekonomi hal ini jelas rantai panjang dari kapitalisme global. Selain itu, melemahnya rupiah juga bisa menjadi indikator bagaimana gejolak pada masyarakat akar rumput tentang kesenjangan ekonomi mereka. Dengan inflasi yang melonjakkan harga kebutuhan pokok maka naluri survifat of the fitest (siapa kuat dia yang akan bertahan) mendorong berbagai kriminalisasi masyarakat akar rumput. Akumulasi kekecewaan kepada pemimpin yang tidak lagi bisa diharapkan mengangkat harapan hidup lebih baik semakin membuat fenomena begal ini tak terhindari.
Meskipun kebanyakan korban begal motor tanpa STNK, tapi motor dengan kelengkapan administrasi tak luput jadi sasaran. Fenomena begal harus ditindak serius. Undang Undang No 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial menyebutkan bahwa kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spritual dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Penulis ragu jika fenomena ini terus berkelindan, masyarakat akan mampu menjalankan fungsi sosialnya secara penuh.
Meskipun belum bisa disepadankan dengan bencana sosial seperti konflik yang berkelanjutam, terorisme, narkoba, setidaknya penanganan terpadu harus segera dilaksanankan. Lembaga seperti POLRI, yang memungkinkan ada kesatuan komando dari pusat samapai daerah adalah hal yang dibutuhkan. Memaksimalkan Satlantas untuk melakukan razia-razia malam di jalan sepi harus mulai digarap. Dengan segala potensi kekuatan yang ada, penulis rasa penadah terbesar (gembong) pembegalan sepeda motor bisa segera ditelusuri dan diberangus.
Dalam kajian pohon konflik, penanganan terpadu diatas tentu hanya menyinggung konflik di permukaan. Akar konflik yang paling kuat jelas kesejahteraan sosial masyarakat yang belum merata. Pemimpin negara ini seharusnya mau “berpuasa”. Puasa demi kesejahteraan sosial dengan syarat batal puasa jika gagal menahan nafsu korupsinya, batal jika gagal menelurkan peraturan yang menjamin kesejahteraan setiap warganya, batal saat mereka tidak peka membaca permasalahan rakyatnya. Fenomena begal yang meresahkan ini semakin mempertegas kota metropolitan di Indonesia memang tidak layak huni, Indonesia gagal total dalam human security.
*) Ketua Kelompok Studi Mahasiswa Walisongo Semarang
KOMENTAR