![]() |
Sumber gambar: kavlingsepuluh.blogspot.com |
Oleh
: M ABUL FADLOL AF*
“Dekonstruksi
tanpa rekonstruksi adalah Anarki. Rekonstruksi tanpa dekonstruksi adalah
konspirasi”.
Hari
ini, media menjelma sebagai sosok multi effect. Ia sangat menakutkan,
namun di sisi
lain juga sangat menguntungkan. Media mampu memakan senjata lawan atau menjadi
senjata memakan tuan, bahkan menjadi senjata dimakan tuan. Itu tergantung bagaimana
media difungsikan, seperti apa dan untuk apa.
Dalam demokrasi
makro, fungsi urgent dari pers (media) adalah pengawas keseimbangan
trias politika (Ekskutif, Legislatif, Yudikatif) sebagai elemen lapangan atas. Pers juga berfungsi sebagai mata-mata penguasa
di lapangan bawah. Sebab, jangkauan “mata” pemerintah sangat terbatas. Pers
adalah pusat informasi dan wadah aspirasi vertikal yang bersifat penyambung. Oleh
karena itu, pers dianggap sebagai salah satu pilar penyangga demokrasi keempat
setelah trias politika. Karena memiliki fungsi-fungsi yang sangat urgent.
Dalam menjalankan
tugasnya sebagai pilar demokrasi, media mempunyai aturan main atau yang biasa
disebut dengan kode etik. Dan induk dari kode etik tersebut adalah
Independensi, baik secara etis ataupun organisatoris. Independensi etis pers
berarti memberitakan sesuai fakta dan tidak mengandung unsur paksaan dari
otoritas lain diluar pelaku pers. Sedangkan independensi organisatoris pers,
artinya pers tidak menjadi bawahan dan tidak diintervensi oleh organisasi atau
lembaga manapun, baik yang bersifat struktural ataupun kultural. Oleh sebab
itu, Independensi ini adalah ruang sakral yang seharusnya tidak boleh disentuh
kecuali oleh kebenaran. Karena jika pers disentuh oleh kepentingan, maka fungsi
check and balances pers menjadi mati. Gelar pers sebagai pilar demokrasi
pun akan runtuh. Jika fungsi pers mati, maka siapa lagi yang akan mengawasi
konspirasi? Salah satu ciri negara demokratis adalah negara yang memiliki dan
menjunjung tinggi independensi pers sebagai pilar keempat demokrasi (Miriam
Budiarjo).
Namun dalam
demokrasi mikro, pers bukan lagi pilar keempat dalam miniatur pemerintahan
negara (kampus). Melainkan menjadi pilar ketiga, karena tidak ada lembaga
yudikatif secara formal yang memiliki fungsi pengawasan. Ya, bisa dikatakan
bahwa pers kampus adalah lembaga yudikatif kultural. Maka secara tidak
langsung, pers dalam pemerintahan kampus adalah bagian dari keseimbangan trias
politika yang mempunyai fungsi Check and Balances. Artinya, baik atau
buruknya pemerintahan kampus dengan segala kebijakannya, tergantung dari
independensi pers yang ada di dalamnya.
Jika independensi ini mati, segala jenis konspirasi tidak akan terdeteksi.
Karena hanya perslah, satu-satunya lembaga pengawasan yang masih memiliki
eksistensi. Membatasi ruang gerak lembaga pers, berarti mempersempit jangkauan
pengawasan. Itu artinya, memberikan ruang yang sangat lebar untuk segala jenis
penyelewengan. Mari kita belajar dari Orde baru, saat pers dibatasi dalam
pewartaan, hak asasi dan kebebasan menjadi terkorbankan. Independensi adalah
prinsip pers yang “haram” untuk diganggu-gugat.
____________
* Komisi
A (Kebijakan Publik) SMF-U UIN
Walisongo Semarang
KOMENTAR