Sumber gambar: gosrok.blogspot.com |
Oleh: Fachry Uchiha
“Jika dialog bisa menyelesaikan masalah, maka media tidak perlu ada”.
Opini
bisa dikatakan sebagai mindset seseorang. Sebab opini adalah soal pemahaman
individu yang diaplikasikan dalam keseharian. Salah satu kekuatan pers yang
menakutkan adalah kemampuan menciptakan opini publik melalui media. Artinya,
media dapat membentuk perilaku masyarakat hanya melalui sajian visual atau
audio-visual. Itu berarti, potensi media dalam merubah sebuah tatanan, baik
dalam struktural pemerintahan atau kultur masyarakat sangatlah tinggi. Tidak
hanya itu, pers juga dapat membangkitkan semangat juang masyarakat untuk ikut
berpartisipasi dalam aktifitas perbaikan. Kenapa setiap hari media tiada henti
memberitakan keburukan negara ini? Mulai dari kemiskinan, kriminal, korupsi dan
hal-hal lain yang bersifat abmoral. Menurut penulis, itu adalah salah satu
bentuk keberpihakan dan upaya
media untuk menyadarkan bahwa negara
kita belum sepenuhnya sejahtera. Masih ada kerusakan disana-sini yang harus
diperbaiki. Media membocorkan hal-hal yang tidak pernah dijangkau oleh
pengawasan pemerintah. Peran media adalah membuka, dan selanjutnya akan
ditindaklanjuti oleh pemerintah ataupun masyarakat.
Bayangkan,
jika media di Indonesia hanya memberitakan kebaikan negara kita? Apa mungkin
semangat nasionalisme muncul dari tunas-tunas muda? Apa mungkin upaya perbaikan
akan segencar seperti sekarang? Penulis kira, aktifitas pers adalah awal dari
sebuah perubahan. Ia adalah gerbang untuk membuka segala hal yang merugikan
banyak orang. Ketiadaan opini dan media adalah pembutaan realitas yang memutus
kausalitas perbaikan dan perubahan struktur atau kultur. Perbaikan adalah
tindak lanjut dari informasi kerusakan. Kehidupan pers adalah kehidupan
informasi dan suplai semangat para pejuang umat dan bangsa.
Politik
dan Maksiat Opini
“Lebih baik hidup jujur meski dalam keburukan. Daripada
hidup dalam citra kebaikan, tapi itu bohong”.
Semua orang menginginkan perubahan. Namun konsep
perubahan yang diinginkan berbeda-beda. Pada akhirnya, perjuangan mewujudkan
perubahan menjelma sebagai pertarungan saling menjatuhkan. Jika aktifitas perubahan ini belum mencapai klimaks, maka yang lahir
hanyalah pertikaian berkepanjangan. Ya, dalam dunia politik yang penuh
“persimpangan” dan persaingan ini, hanya ada dua kemungkinan. Menjadi subjek
perubahan atau menjadi objek perubahan. Semua orang pasti memilih menjadi
subjek daripada objek. Status subjek kemudian menjelma sebagai “mahkota raja”
yang disayembarakan secara konstitusional.
Peran media sendiri, dalam pertarungan politik ini ibarat
suara Tuhan. Ia adalah suara yang paling benar dan sakral. Suara yang mampu
menggerakan dan mengubah hati dan fikiran seseorang. Media menjadi mesin yang
paling canggih dalam politik, mengalahkan mesin partai. Sebab, yang dibangun
media adalah opini publik yang tidak lepas dari unsur citra. Media yang kehilangan
independensi dan kode etik lainnya akan diseret memasuki ruangan politik ini.
Pada akhirnya, media juga melakukan koalisi politik layaknya partai politik,
sehingga membentuk oposisi politik media. Jika suara tuhan sudah dipolitisir
dan membentuk oposisi, maka inilah yang disebut sebagai dualisme kuasa tuhan
(al-Anbiya 21).
Maka, media yang diintervensi sehingga kehilangan
independensi, telah melakukan kejahatan publik. Dalam konteks politik,
kejahatan tersebut berbentuk visualisasi citra yang tidak sebenarnya. Citra
yang dimaksud disini, tentu tidak terbatas saat momen Pilpres seperti sekarang
ini. Tapi juga pencitraan dini yang ujung-ujungnya untuk mencapai kekuasaan,
baik dalam citra pemerintahan atau citra figurisasi.
Citra dan realitas merupakan kesatuan yang tak
terpisahkan. Namun, citra dengan realitas seringkali mengalami keterputusan
daripada pembauran. Keterputusan ini sering disebut dengan Hiperealitas. Yaitu,
ketidakmampuan kesadaran untuk membedakan kenyataan dan fantasi. Citra dapat
menutupi realitas yang sesungguhnya. Dan citra ini tentu sangat mudah
dimanipulasi oleh media. Disisi lain, kualitas pendidikan masyarakat indonesia
belum terlalu mumpuni untuk mengaktifkan sistem filter, guna membedakan antara
yang fantasi dan realita. Sehingga, media dengan sangat mudah menyisipkan
opini-opini provokatif yang sarat kepentingan politis. Dari sinilah, media
telah melakukan maksiat opini, mega konspirasi.
KOMENTAR