Judul Buku : Menggali
Nalar Saintifik Peradaban Islam
Penulis :
Husain Heriyanto
Penerbit : Mizan
Publika, Jakarta
Cetakan : I,
Juni 2011
Tebal :
xxxix + 392 halaman
Harga : Rp.
75.000,-
Suatu peradaban dikatakan maju apabila
terdapat suatu budaya, bentuk pemikiran, dan jenis tradisi keilmuan yang
dikembangkan. Begitu juga karakteristik peradaban Islam, semangat keilmuan yang
dimiliki orang-orang islam saat itu sangat tinggi. Islam mencapai keemasaannya pada abad ke 8 sampai 14, yang
ditandai dengan penerjemahan karya-karya filsuf Yunani dan Romawi ke dalam
bahasa Arab. Hingga mereka mampu memunculkan ilmu-ilmu baru, terutama dalam
bidang sains awa’il (sains umum yang diwariskan oleh peradaban-peradaban
pra-islam seperti astronomi, alkimia, fisika, kedokteran, geometri dan
lain-lain). Tingginya etos keilmuan dan kultur ilmiah yang dibangun para sarjana
muslim membuat mereka tidak hanya berhenti pada proses penerjemahan saja, namun
juga melakukan proses sintesis-kreatif, yaitu dengan cara menerima khazanah
berbagai peradaban pra-islam dan secara kreatif menelaah dan mengembangkannya
dengan cara pandang dan paradigma yang baru.
Dalam buku ini, Heriyanto mencoba
mengungkap berbagai temuan ilmiah dari para
saintis dan filsuf besar yang lahir dari rahim islam sendiri, seperti Al-Khawarizmi,
matematikawan muslim yang berhasil meletakkan dasar-dasar ilmu hitung dan
aljabar, Al-Battani seorang astronom penentu 24 jam per hari. Dalam bidang
Fisika, Ibn al-Haitsam yang dijuluki sebagai bapak optik, Al-Biruni, sebagai penghitung
pertama keliling bumi, Al-Khazini, pencetus teori gravitasi. Dalam bidang Kimia,
Jabir bin Hayyan, Al-Razi, Al-Kindi yang berhasil menyelidiki proses-proses pemurnian kimiawi
(destilasi, sublimasi, presipitasi dan larutan). Dalam bidang Ilmu Medis
(Kedokteran), Ibnu Sina, Al-Zahrawy sebagai Sang Ahli Bedah, Ibnu Nafis, penemu
kapiler paru-paru, dan berbagai temuan-temuan lain yang berhasil di ungkap
sarjana muslim. Hal ini menunjukkan bahwa mentalitas rasional yang dimiliki
para sarjana muslim bukanlah sesuatu hal yang dicangkokkan dari luar, tapi
murni berasal dari etos keilmuan sarjana muslim itu sendiri.
Ironisnya, yang terjadi sekarang ialah banyak
orang yang tidak mengetahui penemuan tersebut ditemukan oleh ilmuwan muslim,
tapi ditemukan oleh ilmuwan barat. Sebut saja Al-Khazini penemu tekanan udara.
Namun jika ditanya, siapakah penemu gejala bahwa udara memiliki berat dan
tekanan ke segala arah, serta gaya ke atas sebesar beratnya yang diisi oleh
suatu benda? para pelajar langsung menjawabnya,“Torricelli”. Jelas hal itu sangat
tidak sesuai dengan fakta sejarah.
Fenomena tersebut seakan telah menjadi
tradisi dalam disiplin ilmu pengetahuan modern apapun, yaitu penghapusan secara
sistematis jejak-jejak dan sumbangan-sumbangan ilmuwan muslim dalam
perkembangan berbagai ilmu pengetahuan modern. Hal ini tidak jauh berbeda
dengan apa yang disebut praktik distorsi historis, yaitu praktik penyimpangan
penulisan sejarah sains dengan menyembunyikan atau menghilangkan data dan fakta
mengenai perkembangan ilmu pengetahuan pada era kejayaan peradaban islam abad 8-14. Bahkan banyak ilmuwan Barat yang
sengaja meniru dan mengklaim hasil temuan ilmuwan-ilmuwan muslim. Seperti yang
terjadi pada ilmuwan Al-Battani, seorang astronom yang berhasil mengintrodusir
penetapan satu hari menjadi 24 jam siang-malam. Dia mengukur garis lurus
khatulistiwa lewat pengukuran bayang-bayang yang datang melalui alat gnomon,
yakni semacam papan untuk mengukur cahaya matahari setelah dibagi menjadi 12
bagian. Garis lurus tersebut kita kenal dengan cotangen, sedang garis
melintangnya disebut tangen. Introduksi Al-Battani itu kemudian diambil alih oleh
astronom-astronom Eropa, dan karena Eropa menguasai perkembangan sains astronomi
modern sejak abad ke-17, patokan satu hari 24 jam tersebut menjadi populer
dalam kehidupan sehari-hari seperti yang dikenal sekarang (hal. 135).
Dari ulasan terakhir, Heriyanto
berusaha menjelaskan tentang bagaimana cara pandang ilmuwan muslim secara
filosofis yang menjadi basis mentalitas dan kultur ilmiah mereka. Buku ini juga
berhasil memadukan sains dan filsafat dalam konteks peradaban Islam.
Dalam hal ini, filsafat sains merupakan dua tradisi ilmiah Islam yang amat kaya
dengan doktrin-doktrin yang relevan dan berguna dalam pengembangan mentalitas
rasional dan visi kemanusiaan universal.
Buku yang bertajuk, “Menggali Nalar
Saitifik Peradaban Islam”, telah membuktikan bahwa Islam memiliki kesejarahan yang
tinggi, yang berguna dalam pengembangan mentalitas rasional dan menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusiaan universal. Aspek sejarah yang terkandung di
dalamnya, setidaknya berusaha menumbuhkan kesadaran peradaban pada diri kaum
muslim bahwa mereka memiliki kebanggaan sebagai umat yang berjasa mengembangkan
ilmu pengetahuan dan peradaban dunia. Prestasi yang diukir para sarjana muslim berusaha
mendobrak nalar berpikir kritis dan tradisi intelektual yang berhasil dibangun
para sarjana muslim.
Namun sayangnya, Buku setebal hampir
empat ratus halaman ini terkesan hanya menyebutkan prestasi
ilmiah sarjana muslim hanya satu bidang saja yaitu ilmu Alam (Sains). Sedangkan
dalam bidang Ilmu-ilmu lain, seperti Ilmu Sosial dan Humaniora tidak di bahas
dalam buku ini. Walaupun begitu, setidaknya buku ini telah berhasil mengungkap
penemuan-penemuan ilmuwan muslim yang telah terdistorsi oleh barat, bisa
menjadi pelajaran berharga bagi kita untuk tetap menjaga warisan-warisan ilmu
pengetahuan yang diberikan kepada kita sebagai generasi muslim selanjutnya.
*Mahasiswa AF 2009, dan juga anggota Library Fans
Club (LFC) perpustakaan Fak. Ushuluddin
KOMENTAR