![]() |
Dok. Ilustrasi |
Dalam beberapa dekade tarakhir, isu kekerasan seksual dan kasus tindak asusila terhadap anak di bawah umur semakin santer terjadi. Mirisnya lagi, banyak dari peristiwa tersebut terjadi di lingkungan pondok pesantren yang notabene sebagai institusi pendidikan dan keagamaan.
Salah satunya kasus terjadi pada bulan Juli 2024 ini. Dikutip dari CNN Indonesia, seorang pengasuh pondok pesantren Al-Mahdiy di Sidoarjo ditahan karena dugaan melakukan pelecehan seksual terhadap santriwatinya. Selain itu, viral di media sosial seorang pengasuh ponpes di Lumajang menikahi siri seorang santriwatinya sendiri tanpa sepengetahuan orang tua sang santri. Belum lagi kasus-kasus serupa lainnya, yang menjadikan santriwati sebagai sasaran korban.
Mengutip dari detikedu, pada tahun 2023 lalu, FSGI (Federasi Serikat Guru Indonesia) merilis data kekerasan seksual di satuan Pendidikan sepanjang Januari hingga April 2023. Dalam data tersebut tertulis bahwa setidaknya tingkat presentase kekerasan seksual yang terjadi di pondok pesantren sebesar 33,33%.
Dari banyaknya yang kasus kekerasan yang terjadi, rata-rata perempuan dan anak dibawah umurlah yang kerap menjadi korban. Dari dulu hingga sekarang perempuan memang selalu rawan terhadap kekerasan. Namun, dalam situasi ini tindak asusila tersebut menyerang perempuan di tempat yang dianggap suci dari perbuatan tercela.
Dari beberapa kasus, kasus ini terjadi karena pengasuh menggunakan dalih yang mengatasnamakan agama untuk melakukan tindakan asusila kepada santrinya. Seperti menggunakan dalil-dalil yang melenceng dari hukum Islam untuk membenarkan tindakannya. Misalnya, santri diiming-imingi akan mendapatkan pahala hingga masuk surga.
Baca Juga : Kasus Pelecehan Anak dan Pentingnya Edukasi Seksual
Maraknya kasus-kasus tindak asusila yang terjadi di lingkungan pesantren menjadi momok bagi sebagian masyarakat. Mulai dari ketakutan untuk memasukkan anaknya ke pondok pesantren hingga memudarnya kepercayaan serta penghormatan satuan pendidikan yang menekankan pengetahuan agama tersebut.
Kasus-kasus yang mencuat ke ranah publik pun akhirnya memantik pertanyaan, bagaimana penegakan hukum dan keamanan di lingkungan satuan pendidikan keagamaan?
Sebenarnya, pada tahun 2022 lalu, Kementrian Keagamaan (Kemenag) telah menerbitkan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 73 Tahun 2022 tentang Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama. Peraturan ini merupakan langkah pemerintah untuk mencegah kekerasan seksual agar tidak terjadi di institusi pendidikan.
Namun, komitmen dari Kemenag ini gagal menjalankan fungsinya secara maksimal. Dibuktikan dengan masih banyaknya kasus kekerasan seksual yang melanda pesantren dan institusi pendidikan lainnya.
Salah satu penyebab kegagalan dari komitmen pemerintah itu ialah komitmen untuk menjalankan regulasi yang tidak spartan. Pelaksanaan dan pengawasan yang tidak ketat menjadi penyebabnya. Masih banyak pihak-pihak yang tidak menerapkan peraturan tersebut secara tegas. Selain itu, dalam mekanismenya ruang aduan untuk korban juga masih terbatas.
Selain menekankan pentingnya penegasan terhadap peraturan pemerintah, hal lain yang mungkin dapat dilakukan untuk mencegah kekerasan seksual dalam institusi pendidikan ialah melalui perbaikan sistem dari dalam. Yakni sebuah langkah untuk menjembatani kesenjangan dalam herarki institusi pendidikan. Alasannya, agar santri dan pengasuh memiliki posisi yang setara dalam ranah hak kemanusiaan.
Misalnya, sebuah yayasan atau lembaga sekolah pendidikan keagamaan menerapkan regulasi yang jelas dan disiplin terkait keamanan dan kenyamanan para santri/santriwati, guru/pengasuh, serta seluruh warga pondok pesantren. Dalam hal ini, tidak mendiskreditkan peran dalam pengajaran, melainkan meminimalisir kesewenang-wenangan yang mungkin dilakukan di luar aspek pendidikan dan pengajaran.
Kekuatan Pengetahuan
Dengan menggunakan kacamata seorang filsuf Prancis, Michael Foucault, tindakan kesewenang-wenangan seperti tindak asusila guru terhadap murid merupakan sebuah penyelewengan atas kekuasan dan pengetahuan. Dalam hal ini, pengurus ponpes menggunakan pengetahuan dan kekuasaannya untuk mendapat keuntungan pribadi dari santrinya.
Dalam hierarki sosial, santri memiliki posisi yang berada di bawah pengajar maupun pengurus pondok pesantren. Hubungan ini yang membentuk norma agar santri selalu ta'dim kepada pengasuhnya. Seorang santri diharuskan untuk selalu patuh terhadap apa yang dikatakan dan diperintahkan oleh pengasuhnya.
Herarki ini memberi celah pada seorang pengasuh untuk menggunakan posisi dan pengetahuannya dalam mengancam santri. Akibatnya, seorang santri yang ta'dim dalam kondisi terdesak, akan mematuhi apa yang diperintahkan oleh sang pengasuh. Walaupun perintah itu terkadang melanggar martabat dan hak santri itu sendiri.
Lalu, jika menilik asas dan fungsi dari pendidikan, seorang filsuf dari Brazil, Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed (1970) juga menyoroti herarki antara guru dan murid di dalam situasi pengajaran. Freire menekankan pemikirannya pada Problem Posing Learning (PPL), yakni sebuah strategi pembelajaran yang menekankan pemikiran kritis demi tujuan pembebasan.
Freire menolak status quo yang menganggap guru sebagai satu satunya pemilik kebenaran, sedangkan murid tidak memiliki kebenaran sama sekali. Menurut Freire, dalam pendidikan guru dan murid harusnya memilih posisi yang sama sebagai pembelajar. Hal ini yang nantinya akan memudahkan dialektika dalam transfer pengetahuan.
Baca Juga : Kekerasan Seksual dan Upaya Sinergitas Pendidikan
Selain itu, Freire juga menekankan kebebasan belajar bagi murid. Artinya, murid boleh mengambil kebenaran dari mana saja tidak harus dari seorang guru. Seorang murid berhak mencari kebenarannya sendiri dan menyangkal pemikiran guru yang tidak logis.
Kritik ini bisa menjadi jembatan agar guru tidak luput dalam menggunakan kekuasaan dan pengetahuannya. Apabila hal ini benar-benar diterapkan, seorang murid tidak akan lagi takut untuk mengatakan kebenaran jika gurunya sendiri telah melakukan sebuah penyelewengan.
Murid mampu menolak perintah seorang guru yang keliru secara tegas. Misalnya, seorang santri dapat menolak perintah dari pengasuh yang melanggar martabat dan hak sang santri. Sehingga, lingkungan pendidikan benar-benar berfungsi sebagaimana mestinya, dalam mentransfer pengetahuan serta mengarahkan individu bertumbuh dalam kritisisme dan kebijaksanaan. [Erli]
KOMENTAR