Memiliki keterbatasan fisik tidak akan mampu mematahkan keinginan belajar seseorang. Kalimat ini yang mungkin bisa sedikit menggambarkan sosok sastrawan Abu al-'Ala al-Ma'arri. Lahir di kota Ma'arratun Nu'man yang kini menjadi bagian dari negara Suriah dengan nama lengkap Ahmad bin Abdullah bin Sulaiman bin Muhammad at-Tanukhi. Ia lahir pada tahun 363 H/973 M dari keluarga yang bermartabat. Ayahnya seorang hakim, sedangkan ibunya berasal dari bani Sabikah (Bani Terpandang di Aleppo).
Dengan begitu ia hidup bersama kedua orang tuanya. Hingga suatu hari saat dia memasuki usia tiga tahun, ia mengalami penyakit cacar yang mengakibatkan kerusakan pada salah satu matanya. Selang 3 tahun kemudian ia kembali mengalami cacar untuk kedua kalinya yang mengakibatkan kebutaan pada kedua matanya.
Semasa hidupnya Al Ma'arri telah mempelajari berbagai bidang ilmu keislaman seperti ilmu hadis, fiqih, dan berbagai ilmu lainya dari salah satu gurunya bernama Abu Hamzah ulama bermazhab Hanafi. Namun ilmu pengetahuan yang telah ia miliki tak mampu memuaskan rasa kurangnya akan ilmu pengetahuan. Yang membawanya pada sosok penyair Arab yang begitu masyhur pada zamannya al-Mutannabi.
Dari situlah Al Ma'arri mulai dikenal karena kepiawaiannya menciptakan syair-syair yang sarat akan kedalaman filsafat, sosial, politik, pemikiran keagamaan serta sastra. Sosoknya dianggap sebagai penyair yang mampu menghadirkaan pesan-pesan sedih yang sekaligus penuh dengan nilai moral.
Baca Juga : Kisah Abu Nawas dan Refleksi Kesadaran
Salah satu karyanya yang begitu terkenal adalah syairnya soal tujuan penciptaan manusia yang seringkali disalah artikan oleh masyarakat pada waktu itu, manusia hidup untuk menghadapi kefanaan di dunia. Padahal menurutnya, manusia diciptakan untuk menjalani kehidupan yang abadi. Dan hanya berpindah dari dunia menuju akhirat.
Ia meninggal pada masa Khalifah Al-Qaim al-Abbasi lebih tepatnya pada tahun 449 H. Semasa hidupnya ia berhasil melahirkan beberapa karya besar diantaranya Risalah al-Ghufron, Risalah al-Malaikat, Diwan Siqtuz Zand, Luzumiyat, Risalah Fushul wa Ghayah, Risalah al-Hina’.
Baca Juga : Ini Dia 9 Peristiwa Menarik di Balik Isra Mi'raj
Keteladanan Abu al-A'la
Jika setiap orang bisa memilih jalan hidup yang akan dijalani. Tentunya semua menginginkan kehidupan dengan kenormalan fisik dan kehidupan yang diselimuti kebahagiaan. Tapi, hal itu tentu menciderai peran Tuhan sebagai Maha Kuasa atas makhluknya.
Begitulah yang dialami oleh Al Ma'arri. Meskipun tidak mengalami kebutaan sejak lahir, ia harus kehilangan pengelihatannya sejak dia masih kecil. Meskipun begitu ia tak pernah merasa kecil dan patah semangat untuk terus belajar. Semangatnya terus membara hingga ia memperoleh julukan A’jubah min A’ajib al-Zama (salah satu tokoh yang sangat mengagumkan) karena prestasinya.
Baca Juga : Refleksi Ikhlas Memaafkan dari Kisah Abu Bakar
Dari Al Ma'arri kita bisa meneladani sikap pantang menyerah dalam belajar. Bagaimanapun kondisinya, api semangat belajar tak boleh padam apalagi karena dikalahkan dengan keterbatasan. Karena tak ada makhluk yang benar-benar sempurna dan kewajiban belajar menjadi tuntutan yang harus dilakukan manusia.
Sebagaimana Al Ma'arri pernah menuliskan syairnya di tembok penjara, yang berbunyi 'Walaupun aku datang terlambat ke dunia ini, aku harus mencapai apa yang telah dicoba dan gagal dilakukan oleh para pendahuluku, agar kejayaan yang tiada tara menjadi milikku.'
[Zaqia Ulfa]
KOMENTAR