![]() |
Pementasan Naskah Lakon bertajuk 'Koran' oleh UKM Teater Metafisis di Auditorium I kampus 1 Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, pada Kamis (08/09/23). |
Acara ini dimeriahkan 250 orang lebih penonton, dari mahasiswa UIN Walisongo hingga undangan luar kota dari Jepara, Magelang, hingga Tegal.
Lurah Teater Metafisis, Naufal Rizqi Herdiansyah menyebutkan jumlah penonton tersebut terdiri dari pemesanan tiket pre sale, flash sale, on the stage (OTS), hingga tamu undangan.
"Pre sale sama flash sale terjual 100, kemudian yang on the spot 50an lebih, selebihnya undangan-undangan," ungkap mahasiswa asal Tegal itu kepada kru IDEAPERS.COM.
Lewat pertunjukan teater itu, kata Naufal, pihaknya ingin mengangkat isu pemberitaan media yang efeknya tidak sederhana, atau disebut efek domino.
"Di media itu mempunyai efek yang tidak hanya informasi, tapi ada efek lain diluar itu. Jadi ada berita tentang A maka efeknya tidak cuma kita tau tentang A tapi ada efek- efek domino yang menimbulkan efek-efek yang lain, selain efek yang utama itu," jelasnya.
Untuk menyiapkan pertunjukan ini, kata dia, membutuhkan waktu latihan hingga tiga bulan lamanya. Selaras dengan itu, Naufal mengatakan waktu latihan yang bertepatan dengan liburan kuliah menjadi kendala mereka.
"Kita mengalami banyak kendala itu kemarin ada liburan, kemudian ada beberapa tim yang terpaksa harus pulang ke rumah," pungkasnya.
Baca Juga : Refleksikan Makna Takdir, Teater Metafisis Adakan Pementasan Naskah Lakon Bertajuk Amorfati
Salah satu penonton, Mahasiswi Tasawuf dan Psikoterapi (TP), Firda Rahma Difa mengaku antusias menyaksikan pentas Metafisis ini. Ia menilai koran unggul dalam detail setting panggung.
"Sampai (properti) tekonya itu di teh masih ada sisa-sisanya gitu. Mereka sangat memperhatikan detail-detailnya. Terus ketika pemeran membawakan (teko) sebagai tokoh itu sangat mendalami banget." ujarnya.
Di sisi lain, Firda menyayangkan pemilihan bahasa dalam lakon cenderung kurang konsisten, tepatnya porsi antara bahasa Indonesia atau Jawa sebagai latar cerita naskah.
"Bahasanya tumpuk-tumpuk gitu. Kan latarnya di Jawa. Kenapa tidak 'le' saja dibandingkan 'nak'. Gitu," ungkapnya.
Penonton lainnya, mahasiswa Politeknik Negeri Semarang (Polines) Elang Dinata memuji pengemasan cerita naskah lakon yang mampu mencakup berbagai konflik sekaligus.
"Naskah itu yang dibawain cukup bagus karena ngangkat sebuah koran menimbulkan beberapa banyak hal, seperti kayak keresahan, ada timbul konflik, pembunuhan juga, ada pemfitnahan, dan lain-lain," jelas Emprit, sapaan akrabnya, kepada Kru LPM IDEA.
Seperti Firda, Emprit mengaku takjub dengan setting panggung yang dibuat realis. Tak hanya itu, ia juga menyinggung penataan musik dan pemindahan setting yang cepat berhasil membawa penonton larut dalam cerita.
"Untuk settingnya juga dibuat realis, dibuat warung sebegitu rupanya terus ada tembok -tembok dan pohon-pohonnya juga yang menurutku effort banget, itu menurutku menarik sih," ungkap mahasiswa semester 7 asal UKM Komunitas Seni Polines (KoNSeP) itu.
Saat ditanyai kesan dari pentas Koran, ia mengaku durasi 40 menit Koran terasa sangat singkat untuk sebuah pementasan teater.
Selain itu, sebagai sesama UKM Seni, Emprit berpesan kepada penyelenggara agar mematangkan lagi dari segi teknis, salah satunya lighting. Pasalnya, kata dia, hal tersebut dapat mempengaruhi feel penonton terhadap cerita.
"Mungkin juga buat temen -temen ini lebih dimatengin lagi dari segi teknis, kayak lampu tadi sempet ada tiba-tiba nyala terus mati dan lain-lain kayak gitu sih," pungkasnya.[Rep. Erliyana/Red. Riska]
KOMENTAR