![]() |
(Doc. Istimewa) |
Praktek berkurban kali pertama dilakukan oleh kedua anak nabi Adam, Qabil dan Habil. Mereka diminta mengorbankan harta terbaik miliknya untuk menyelesaikan sengketa perjodohan diantara keduanya.
Dari harta yang dipersembahkan oleh keduanya, Allah SWT memilih kurban domba milik Habil karena ketulusannya. Berbanding terbalik dengan Qabil yang justru memberi tanaman terburuk di kebun miliknya.
Lantaran tidak dipilih, Qabil merasa cemburu, marah kemudian tega membunuh Habil. Kisah ini juga menjadi tragedi pembunuhan pertama di muka bumi yang dilakukan Qabil.
Kisah pengurbanan selanjutnya yang paling terkenal, ialah kisah nabi Ibrahim dan anaknya nabi Ismail. Pengurbanan Ismail berawal dari mimpi Ibrahim yang ditagih janjinya oleh Allah SWT. Ibrahim dengan ikhlas menerima perintah Tuhannya, pun dengan Ismail yang sabar menjalankan perintah dan justru menguatkan niat Ibrahim.
Namun, ketika Ibrahim berada di puncak keikhlasan, Allah SWT menggantikan Ismail dengan seekor domba besar. Sikap hingga keputusan Ibrahim dan Ismail menunjukkan bahwa posisi Tuhan ialah di atas segalanya.
Refleksi Kisah Kurban
Dari putra Nabi Adam maupun Nabi Ibrahim, ritual kurban melibatkan pertumpahan darah manusia. Sementara dilihat dari sisi batiniah, terdapat pesan Tuhan mengapa memerintahkan hambanya untuk berkurban.
Merujuk pada etimologi kata Kurban yang berasal dari kata qaraba-yaqrabu, memiliki arti dekat atau mendekatkan. Maksudnya, Tuhan ingin hambanya mendekatkan diri pada-Nya dengan cara berkurban. Mengorbankan atau menyisihkan harta yang dimilikinya.
Kedua kisah di atas, menunjukan dua mata pisau makna dari sebuah pengurbanan. Di mana kisah pertumpahan darah manusia terjadi karena Qabil mengedepankan egonya dan tidak terima dengan keputusan yang telah dipilih oleh Tuhannya. Sedangkan kisah Ibrahim memperlihatkan pengorbanan besar karena kebesaran hati dan cinta kepada Tuhannya. Sehingga Tuhan bahkan menghadiahkan Ibrahim dengan adanya domba besar sebagai ganti Ismail.
Makna Kisah Nabi Ibrahim
Seorang sosiolog muslim asal Iran, Ali Syariati menafsirkan hikayat Nabi Ibrahim dengan sudut pandang yang menarik. Menurutnya, 'Ismail' dalam kisah Ibrahim bukan hanya diartikan sebagai seorang anak. Tetapi juga menjadi simbol ego atau dorongan nafsu yang bisa menghalangi manusia dekat dengan Tuhannya.
'Ismail' hadir dalam diri setiap manusia dengan wujud yang berbeda-beda, seperti kepopuleran, jabatan, kecantikan, atau apapun itu.
Ali Syariati megartikan 'Ismail'-nya manusia hadir sebagai sesuatu yang melemahkan iman, menghalangi perjalanan spiritual. Bahkan hal itu bisa membuat kita menghindari tanggung jawab, dan hanya memikirkan kepentingan sendiri sehingga abai dengan persoalan sekitar.
"Setiap sesuatu yang membuat engkau mengemukakan alasan-alasan demi kemudahanmu," begitu kutipan Ali Syariati.
Dilain sisi, kita bisa merefeleksikan ketaqwaan Nabi Ibrahim, yang menempatkan Tuhan di atas segalanya. Meski dengan mengorbankan sesuatu yang sangat kita cintai sekalipun.
Hari Raya Iduladha bisa menjadi momen bagi kita untuk kembali mengejawantahkan kisah Nabi Ibrahim dalam kehidupan sehari-hari. Kemudian mempertanyakan, bentuk 'Ismail' yang hadir dalam diri kita?
Maka untuk menuju pembebasan ego atas nama cinta, apakah kita akan melepaskan diri dari 'Ismail' yang mengahalangi untuk melihat kebenaran bahkan dekat dengan-Nya? Atau justru terlena dengan 'Ismail' sehingga dibutakan untuk melihat kebenaran?seperti kisah Qabil yang berakhir dengan membunuh saudaranya.[Dian AP].
KOMENTAR