Dok. Istimewa |
Perempuan mulia yang dijuluki Ummul Mukminin difitnah melakukan zina dengan sahabat Nabi Muhammad sendiri, Shafwan ibn Muaththal. Tentunya sebagai seorang ayah, Abu Bakar tidak bisa diam begitu saja. Pasalnya ia menyakini jika anak kandungnya tidak mungkin berbuat keji yang sangat dibenci oleh Allah SWT. Abu Bakar pun kemudian menyelidiki pelaku penebar rumor tersebut.
Setelah mengetahui penebar kebohongan atas ketidaksucian anaknya, Abu Bakar Ash-Shiddiq begitu kecewa sebab orang tersebut putra dari bibinya, yakni Misthah bin Utsatsah sekaligus orang fakir yang kehidupan dunianya dipenuhi oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Seketika Abu Bakar bersumpah tidak akan memberikan nafkah terhadap Misthah lagi. Walaupun Misthah bukan sahabat pertama yang mengatakan bahwa Aisyah berzina, akan tetapi kekecewaan mendalam Abu Bakar begitu menggelora. Keteledoran Misthah yang tidak melakukan tabayyun terlebih dulu kepada Aisyah berimbas besar terhadap dirinya.
Akan tetapi keputusan Abu Bakar memberhentikan hartanya untuk menghidupi Misthah bin Utsatsah ditegur oleh Allah SWT dengan menurunkan ayat ke-22 dalam surat An-Nur yang artinya,
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Abu Bakar kemudian menarik kembali sumpah dan memaafkannya. Karena tahu bahwa Allah juga mengampuni kesalahan Misthah atas keterlibatan dirinya dalam menyebarkan fitnah terhadap Siti Aisyah R.A.
Kisah Abu Bakar di atas menjadi Asbab an-Nuzul al-Quran Surat An-Nur ayat 22, sebagaimana dituliskan oleh mufassir klasik yaitu Ibnu Katsir, didalam kitab karangannya yaitu kitab Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim.
Hikmah Kisah Abu Bakar Ash-Shiddiq
Kisah yang dialami oleh Abu Bakar mungkin juga kita pernah alami sehari-hari. Bagaimana kita juga pernah merasa marah, kecewa, dendam terhadap orang-orang di sekitar.
Amarah yang membara akibat dituduh akan suatu hal yang tidak berdasar, bertumpuk menjadi perasaan dendam. Tidak semua orang dapat terfikirkan untuk memaafkan seseorang, karena rasa sakit dialaminya.
Untuk dapat memaafkan dan ikhlas menjadi perjalanan panjang dan tak mudah dilakukan. Kita harus menelan rasa pahit yang menyakitkan dengan kesabaran, seperti yang dialami Abu Bakar terhadap anaknya.
Namun melalui kisah yang dialami oleh oleh Abu Bakar ini dapat menjadi refleksi diri kita hari ini. Sikap terbaik dalam menghadapi orang yang bersalah kepada kita itu, memaafkannya dari pada menyimpan dendam. Kita sebagai seorang muslim selalu berharap diampuni segala kesalahan terhadap Allah. Baik disengaja maupun tidak dengan segala kekuatan yang dimiliki untuk tidak melakukannya lagi.
Dalam kehidupan nyata, kita selalu berhasrat mendapatkan ampunan dari Tuhan, mestinya juga mengalami kesulitan dalam memendam rasa salah, sekaligus menanti akan dimaafkan. Keputusan Abu Bakar yang mencabut sumpahnya akibat teguran dari Allah, menjadi bagian kecerdasan dalam memahami konteks ayat, di mana Allah juga mengampuni Misthah meskipun tetap mendapat dera akibat tindakannya.
Harta yang kita miliki kemudian digunakan menolong orang, harus dilakukan secara tulus dan jika diniatkan selalu Istiqomah menghidupi orang lain secara berkelanjutan, bukan menjadi halangan berhentinya niat baik tersebut hanya karena keteledoran sikap buruk orang yang ditolong.
Kemudian, wujud kesalahan sikap dan tindakan seseorang terhadap kita sekalipun orang jauh atau dekat, jangan menjadi dalih untuk menutup perbuatan baik. Apalagi jika mempunyai harta banyak yang notabene sebagai perantara untuk disalurkan kepada kelompok yang lebih membutuhkan misalnya fakir, miskin, yatin piatu, disabilitas, dan sebagainya.
Mari sejenak renungkan, sampai di titik mana kita bisa memaafkan orang lain atas kesalahannya. Merefleksikan diri, jika belum bisa sepenuhnya merelakan, setidaknya menghilangkan dendam. Mencoba menasikhkan pilu menjadi lenyap. Perlahan menyisihkan luka hingga ahirnya tersisa bekasnya saja.[Ayu Sugiarti].
KOMENTAR