Gedung Ma'had Al-Jami'ah II UIN Walisongo Semarang |
Semarang, IDEAPERS.COM - Sejumlah calon mahasiswa baru (camaba) UIN Walisongo Semarang 2023 mengaku keberatan dengan kewajiban bertempat tinggal di Ma'had Al-Jami'ah. Terutama soal pembayaran yang terbilang cukup mahal.
Salah satu calon camaba 2023, Iqbal Muhammad, prodi Ilmu Al-Quran dan Tafsir (IAT) mengaku keberatan dengan kewajiban bertempat tinggal di Ma'had Al-Jami'ah.
Pasalnya, dia menilai penambahan biaya sebesar Rp3.000.000 untuk tinggal di Ma'had itu cukup mahal. Ditambah, lanjut Iqbal, jumlah tersebut belum termasuk biaya makan selama enam bulan tinggal di Ma'had.
"Saya keberatan karena biayanya cukup mahal. Rp3.000.000 itu baru bayar uang Ma'hadnya doang, tidak meliputi makan atau yang lainnya," ungkap Iqbal saat diwawancarai Kru IDEAPERS.COM melalui pesan singkat Whatsapp, pada Senin (1/5/23).
Iqbal merupakan satu dari 2.321 calon mahasiswa yang berhasil lolos lewat jalur Seleksi Prestasi Akademik Nasional Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (SPAN-PTKIN) 2023 UIN Walisongo.
Diketahui, melalui surat edaran nomor 1901/Un.10.0/R1/DA.00.01/04/2023 yang ditanda tangani Wakil Rektor bidang akademik dan kelembagaan, Mukhsin Jamil, telah mengumumkan kewajiban bertempat tinggal di Ma'had Al-Jami'ah untuk seluruh mahasiswa baru tahun 2023.
Baca Juga : Jadi Syarat KRS dan Ujian Skripsi UIN Walisongo Kembali Wajibkan Ma'had Bagi Mahasiswa Baru 2023
Namun, sebelum surat edaran tersebut diumumkan, Iqbal mengaku memang berencana akan bertempat tinggal di pondok pesantren pilihannya sendiri.
"Saya lebih memilih di pesantren pilihan sendiri, karena ketika kita memilih hal yang kita suka, maka kita akan nyaman," tuturnya.
Selain itu, ia juga mengaku terkejut saat putusan besaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) jalur SPAN-PTKIN diumumkan pada Kamis (27/4/23) lalu. Lantaran, dirinya mendapatkan nominal UKT yang cukup besar atau berada di golongan ke-5 sebesar Rp4.123.000.
"Tidak sesuai ekspetasi dan prediksi, mahal banget gila sih," ucapnya.
Lebih lanjut, dia menilai kebijakan wajib Ma'had ini akan beresiko kepada camaba dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah. Pasalnya, mahasiswa baru harus membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan Ma'had secara bersamaan.
"Dan kasihan juga bagi mahasiswa baru yang orang tuanya, kondisi ekonominya tidak memungkinkan. Banyak camaba yang mengeluh karena UKT aja belum bayar sudah dibebani oleh pembayaran Ma'had. Seolah-olah seperti ada paksaan gitu," terang Camaba asal Kabupaten Batang ini.
Walaupun keberatan dengan kewajiban Ma'had, Iqbal memilih akan tetap melanjutkan proses pendaftaran menjadi mahasiswa baru UIN Walisongo.
Baca Juga : Begini Lanjutan Soal Wajib Ma'had Tahun Ajaran 2023
"Ya kalau sudah aturannya begitu, saya tetap lanjut sesuai dengan keputusan," pasrahnya.
"Tapi saya tetap berharap semoga tidak ada kewajiban berma'had," tambahnya.
Di sisi lain, salah satu camaba jalur SPAN-PTKIN, Intan Safinatul mengungkapkan biaya ma'had yang relatif mahal. Senada dengan Iqbal, meskipun ia berencana bertempat tinggal di pondok, Intan mengaku keberatan soal biaya Ma'had yang cukup mahal.
"Saya sebelumnya berencana mau tinggal di pondok pesantren, kalau tempat sih nggak masalah ya, tapi saya masih keberatan soal biaya Ma'had," ungkapnya.
Jika kewajiban tinggal di Ma'had tetap diberlakukan, Intan berharap biaya sebesar Rp.3.000.000 sudah sesuai dengan fasilitas yang akan dinikmati mahasiswa kelak.
"Kedepannya kalau biaya Ma'had masih segitu, itu sudah memenuhi seluruh fasilitas, termasuk kitab-kitab, makan, serta loundry mahasiswa, dan kalau bisa biaya Ma'had diperkecil dibawah biaya UKT," harap Intan.
Berbeda dengan Iqbal dan Intan. Salah satu Camaba jalur SPAN-PTKIN, Fradischa Rayhan Rahmasuli mengaku dilema untuk tetap melanjutkan pendaftaran kuliah di UIN Walisongo atau tidak.
"Masih bingung (untuk lanjut kuliah), kalau nanti emang bener-bener nggak bisa ya saya mundur," kata Chaca, panggilan akrabnya.
Lebih lanjut, Besaran UKT yang harus dibayar Chaca sebesar Rp4.810.000. Jumlah tersebut, kata Chaca, di luar kemampuan ekonominya. Lantaran penghasilan sang Ayah sebagai buruh tergolong tak menentu. Sedangkan sang Ibu, katanya, hanya ibu rumah tangga pada umumnya.
"Dari orangtua terserah saya gimana, tapi saya juga mikir dua kali dengan biaya yang segitu," ucapnya kepada Kru IDEAPERS.COM secara pesan singkat Whatsapp, belum lama ini.
"Dan sesekali bapak bilang kalau biayanya segitu nggak sanggup," tambahnya.
Walaupun Chaca juga mengakali kesulitannya dengan mencoba mendaftar Program beasiswa Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K), namun ia masih sangsi kelak diterima beasiswa tersebut atau tidak.
"Mungkin agak keberatan untuk sebagian pihak yang kurang mampu termasuk saya. Apalagi, kalau qadarullah belum keterima KIP harus mikir administrasi (besaran UKT dan ma'had) dua kali, bahkan belum untuk uang sakunya," terangnya.
Ia juga berharap pihak kampus dapat memberikan keringanan pembayaran besaran UKT dan Ma'had, seperti adanya pembayaran yang dapat diansur.
"Harapan saya dari pihak kampus atau ma'had ada keringanan lebih, dalam hal biaya," pungkasnya.
"Kalau biayanya dicicil gitu bisa kak?," tanya Chaca kepala Kru IDEAPERS.COM.
Sementara itu, Ketua Senat Mahasiswa (Sema) UIN Walisongo, Sholihul Muafiq mengatakan keputusan terkait penggabungan antara biaya Ma'had dan UKT (uang kuliah tunggal) masih belum diputuskan oleh pihak kampus.
"Keputusan terkait penggabungan biaya Ma'had dan UKT itu belum finaL belum, soal itu masih menunggu hasil rapat pimpinan," ungkapnya kepada kru IDEAPERS.COM usai melakukan audiensi bersama pimpinan rektorat kampus, Rabu (3/5/23). [Rep. Riska Apriliza/ Red. Dian Ananda]
KOMENTAR