Beberapa pekan terakhir ini topik soal kebaya ramai diperbincangkan. Pasalnya empat negara di ASEAN yakni Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Thailand mengajukan kebaya sebagai warisan takbenda secara multinasioal kepada UNESCO. Namun Indonesia tidak ada di dalamnya.
Tidak tercantumnya nama Indonesia kemudian menimbulkan statment dari berbagai pihak. Salah satunya, Sidarto Danusubroto yang ikut menolak adanya pengklaiman kebaya sebagai kebudayaan milik bersama Anggota Wantimpres Indonesia. Mereka mendukung usaha klaim kebaya melalui jalur Single Nation ke PBB sebagai warisan tak benda milik Indonesia saja.
Sementara Kepala Unit Budaya UNESCO, Moe Chiba menyarankan, baik empat negara maupun Indonesia untuk mendaftarkan kebaya sebagai warisan budaya secara multi-nation. Ia tidak menginginkan munculnya persaingan yang diakibatkan oleh upaya masing-masing negara dalam pengeklaiman warisan budaya.
Tidak sedikit yang mempertanyakkan tentang asal-usul kebaya. Selama ini sebagian orang menganggap kebaya merupakan pakaian tradisi masyarakat Indonesia. Tidak sedikit sejarah yang berbicara akan hal tersebut. Salah satunya buku History Of Java yang ditulis oleh Thomas Starmford Raffles. Kata kebaya telah ada dalam catatannya sejak tahun 1817. Dalam bukunya disebutkan bentuk awal dari kebaya Indonesia berasal dari Kerajaan Majapahit yang sudah berkuasa hingga 1389.
Namun dalam kurun waktu tertentu kebaya mulai berkembang dan meluas di negara wilayah Asia Tenggara seperti Malaysia, Brunei, Thailand, dan negara lainnya. Sebagaimana diungkapkan oleh ketua prodi Kriya Tekstil Fakultas Sebelas Maret Surakarta, Theresia Widyastuti, “Bentuk blus sederhana seperti kebaya ini juga dipakai oleh perempuan di luar Nusantara. Di China, Malaysia, Singapura, bahkan di seluruh Asia Tenggara,”
Melihat bukti sejarah ini, Ketua Bidang Kegiatan Perempuan Berkebaya Indonesia (PBI), Atie Natiasmoro, mengatakan kebaya tidak bisa diklaim secara Nation Identity lantaran kebaya muncul di negara serumpun, sehingga budaya berkebaya ini tidak hanya ada di Indonesia tapi juga dinegara-negara tetangga. Kebaya merupakan budaya yang cair dan tindakan yang tepat ialah Culture Sharing. Culture Sharing ini, tidak bertujuan untuk klaiming semata, melainkan lebih pada pelestarian kebaya agar tidak punah.
Di tengah keributan klaim kebaya sebagai warisan budaya, apakah kebaya benar benar sudah membudaya pada diri kita?
Kebaya sebagai budaya bukanlah catatan historikal yang ditinggalkan oleh para perempuan sebelum masa kita. Namun bagaimana kita bisa mempertahankan kebaya sebagai representasi perempuan Indonesia seperti kejayaan masa lalu.
Namun jika melihat hari ini, jarang sekali perempuan-perempuan Indonesia berkebaya dalam sehari-harinya. Kebaya dianggap busana momentum yang dipakai di acara-acara tertentu, seperti wisuda, pernikahan dan lain sebagainya.
Bahkan beberapa orang, kebaya dianggap sebagai pakaian kuno, tua dan ribet. Ketidakrelevanan ini yang membuat kebaya sulit diterima menjadi busana sehari-hari.
Inilah yang menjadi stigma kebaya saat ini. Kebaya adalah pakaian, kebaya adalah "klaim" budaya lantaran tidak dibarengi dengan pemahaman.
Modernisasi Kebaya
Melansir dari suaramerdeka, seorang pakar mode, Musa Widyatmojo mengatakan, mode kebaya perlu berkembang menyesuaikan zaman tanpa mengurangi kepakemannya.
Usaha untuk menginovasi kebaya untuk lebih modern kemudian diikuti oleh kalangan desainer, seperti desainer Leny Agustin. Ia mencoba memberikan kesan modern dan dinamis menyesuaikan karakter anak muda era sekarang.
Upaya serupa juga dilakukan oleh desainer asal Bandung, Ferry Sunarto yang berani memodifikasi kebaya menjadi modis dan modern sehingga, lebih bisa menarik minat anak muda.
Berbagai usaha terus dilakukan oleh para penggelut busana hingga masyarakat awam. Tentunya bukan hanya sebagai bentuk inovasi tren busana. Namun sebagai bentuk pelestarian warisan budaya Indonesia. [Zaqia/Gita]
KOMENTAR