...
Lelahku dengan lautan huruf yang tak serima lautan kenyataan.
Karang sepertinya setuju dengan ini, yang setiap harinya ditampar ombak kenyataan.
Meski begitu, baik biarkan karang tetap di tempatnya. Meski dengan beribu kali ditampar kenyataan. Dari pada dipindahlokuskan ke daratan yang membuatnya dibenamkan—ditimbun—dihilangkan. Paling tidak, biarkan eksistensi dia tetap mengada.
Benar, karang takk boleh kabur. Ombak yang terus menyapa akan membuatnya kuat, setidaknya. Meski tergerus, terbentur. Keras.
Ya...tiada yang kabur. Paling jauh hanya mengujat si ombak yang entah siapa yang suruh.
Antara karang dan ombak, kapan kita berdamai? Tak lelahkah tangannya?
Mungkin, ombak akan mencibir: beginilah aku; rupa takdir untuk menamparmu—membuatmu tetap sadar bahwa lautan ini tak ubahnya candaan, ujian bagi setiap yang hidup dan tak hidup.
Terkadang biru yang berkilau diterpa matahari memang indah, tapi apalah yang benar-benar baqo'(?)
Lalu.... mengapa aku harus lelah jika membelai kerasnya dirimu yang indah adalah takdir nikmat bagiku(?)
Patut, sembilan dari sepuluh karang memutuskan untuk menenggelamkan dirinya sendiri. Hanya karang gila atau memaksakan gila, yang tabah menelan canda macam ini yang terus-terusan abadi.
Karang kerap kali bertanya: kenapa harus karang?
Asal laut tahu, dengan penuh harap, karang ingin menjadi goa yang tak pernah basi—yang bisa menjadi rumah bagi koloni kelelawar. Atau setidaknya baiklah tetap kenjadi karang, namun yang tetap bisa menjadi rumah bagi para ikan. Bukan hanya ditampar, diasingkan, diasini garam, disembunyikan bakau, atau bahkan diludahi keong.
Ah sudahlah, akankah aku atau kau Si Penjadi karang selanjutnya?
Karena kau; karangku yang k u a t. Hatimu lebih dingin sekaligus hangat daripada laut, begitu semesta memilih siapa yang menjadi air mata beku hangat-hangat kukuh.
Bahkan jika kau menjadi berkeping-keping, kau tetaplah goa hidup, rumah bagi kelelawar dalam menapak siang, atau rumah para ikan.
Kau memeluk; kami erat; kata mereka: ikan, kelelawar, dan lain-lain yang ingin selalu kau lindungi. Adalah kau: garda terkuat, tempat kami; menaruh harap-harap.
Bahwa ramah tidaknya laut, kau akan menjadi yang pertama tersenyum, marah, dan mengasihi
...
[Muhammad Faisal Dhuhimatul Hilmi]
Warga Komunitas Sastra Literada Semarang
KOMENTAR