Berbagai produk kecantikan marak dipromosikan di pasaran baik melalui toko, sosial media maupun ikonik kecantikan seperti beauty vlogger. Hingga make-up sudah menjadi lifestyle di era modern.
Namun yang menjadi pertanyaan baik untuk pengguna riasan maupun bukan pengguna, kapan make-up mulai diperkenalkan?, apakah para filsuf pernah menentukan tren riasan? Secara historikalnya make-up memiliki perjalanan yang cukup panjang.
Untuk memahami asal mula make-up, kita perlu menjelajahi waktu sekitar 6.000 tahun. Kosmetik di Mesir kuno, di mana riasan berfungsi sebagai penanda kekayaan yang diyakini menarik bagi para dewa. Ciri khas eyeliner yang rumit dari seni Mesir muncul pada pria dan wanita sejak 4000 SM. Pemerah pipi, bedak putih untuk mencerahkan warna kulit, dan eye shadow semuanya telah populer digunakan pada masa itu.
Kemudian kosmetik juga sudah menjadi tradisi orang-orang Romawi Kuno. Produk kebersihan seperti sabun mandi, deodoran, dan pelembab digunakan oleh pria dan wanita. Pada waktu itu wanita didorong untuk meningkatkan penampilan alami mereka dengan menghilangkan bulu tubuh.
Namun dalam sejarah romawi memiliki perspektif lain terhadap kosmetik. Misalnya saja produk rias seperti pemerah pipi dikaitkan dengan pekerja seks dan karenanya dianggap sebagai tanda tidak tahu malu. Dimana pandangan ini telah menjadi tema umum dalam puisi dan drama komik Romawi.
Seperti Penyair elegis Sextus Propertius, misalnya, yang menuliskan bahwa "tampak seperti yang diberikan alam kepada mereka selalu menjadi yang terbaik". Dan filsuf Seneca the Younger, dalam sepucuk surat kepada ibunya, memuji fakta bahwa dia "tidak pernah mengotori wajahnya dengan cat atau kosmetik".
Pandangan Romawi tentang kosmetik ini kemudian berakar pada Stoicisme, sebuah filosofi yang mengedepankan kebaikan moral dan akal manusia. Stoa menganggap keindahan secara intrinsik terkait dengan kebaikan. Sementara bentuk fisik yang menarik mungkin diinginkan, "kecantikan" sejati malah dikaitkan dengan tindakan moral.
Menghias tubuh dengan kosmetik menyiratkan kesombongan atau keegoisan yang bagi orang Stoa, tidak diinginkan. Perspektif ini kemudian dalam sejarahnya cukup memengaruhi opini mainstream tentang kosmetik saat ini.
Tidak semua orang Romawi pada waktu itu cukup tahan terhadap riasan dan sebagian dari mereka masih terus memerahkan pipi mereka, memutihkan wajah mereka, dan garis mata mereka. Namun ideal Stoic lebih condong ke arah apa yang sekarang kita sebut "makeup no make-up look" menggunakan produk perawatan kulit dan perlengkapan mandi lainnya untuk meningkatkan penampilan alami seseorang, bukan untuk menghias-nya.
Pola terhadap pro dan kontra atau pun merangkul dan menolak riasan terus bergulir hingga di dunia Barat. Kosmetik begitu populer di Kekaisaran Bizantium sehingga warganya mendapatkan reputasi internasional untuk kecantikan.
Kemudian era Era Renaisans usaha kecantikan semakin meluas hingga muncul pewarna rambut dan pencerah kulit yang sudah tidak lagi secara alami. Namun beberapa produk kecantikan mengandung unsur kimia. Gerakan meluas lainnya terhadap kosmetik muncul pada pertengahan abad ke-19, ketika Ratu Victoria dari Inggris menyatakan riasan sebagai vulgar dan kuno. Setelah ini diam-diam tetap melakukan riasan.
Baru sekitar tahun 1920-an kosmetik seperti lipstik merah dan eyeliner gelap, masuk kembali ke arus utama. Ketika industri kecantikan memperoleh pijakan finansial, seringkali produk kecantikan di perjual belikan secara individu.
Dalam perjalanannya Kosmetik menuai berbagai diskursus pro dan kontra. Bagaimana kosmetik dianggap sebagai sisi yang cukup sinis. Seperti adanya strata sosial, bujuk rayu, ego dan lain sebagainya. Meskipun pandangan ini masih kita temui dalam dialektika hari ini, tetapi dalam perkembangannya kosmetik telah mengambil sisi yang cukup berbeda.
Dalam berbagai wacana kosmetik yang diperkenalkan melalui media masa, sekarang kosmetik diproduksi dan di-iklankan, dengan membujuk wanita untuk mengambil pandangan yang berlawanan: kosmetik adalah kebutuhan. [Gita Fajriyani]
KOMENTAR