Sudah menjadi tradisi, tahun baru menjadi momen yang sakral bagi sebagian orang untuk menuliskan resolusi dalam 365 hari yang akan datang. Meskipun dalam praktiknya, deretan mimpi itu hanya berakhir di atas kertas dan tertumpuk oleh urusan-urusan yang tidak tertuliskan. Mengapa resolusi yang dipikirkan dan diharapkan dengan sepenuh hati lebih sering gagal daripada berhasil?
Sebelum membahas perihal "gagal", kita perlu tahu dulu kenapa orang membuat resolusi di setiap awal tahunnya?
Bagi banyak orang, ada daya tarik tertentu tentang membuat perubahan di awal tahun baru. Awal yang baru sebagai penanda untuk memulai yang baru, kesempatan untuk melupakan kesalahan masa lalu dan melihat ke masa depan yang penuh harapan.
365 hari yang akan datang, menjadi batu tulis kosong yang terbentang bersama berjuta peluang dan potensi. Selain itu, di waktu permulaan untuk satu tahun ke depan ini, orang merasa memiliki kontrol untuk merencanakan perubahan.
Namun, faktor-faktor ini pula yang memberikan tekanan lebih dan membuat rencana menjadi tidak terlaksana. Lalu, sejak kapan orang mulai memikirkan resolusi tahun baru?
Dalam catatan sejarah, tradisi resolusi tahun baru berasal dari Babilonia Kuno. Selama 4.000 tahun lalu, orang Babilonia mengadakan perayaan untuk menyambut tahun baru dan memulai kembali penanaman tanaman. Menegaskan kembali kesetiaan pada raja serta berjanji untuk membayar hutang dan mengembalikan barang-barang pinjaman serta berharap mendapatkan bantuan dari Dewa.
Orang Romawi juga memiliki praktik serupa. Sebelumnya, orang Romawi merayakan tahun baru pada tanggal 1 Maret. Tetapi karena beberapa alasan, orang Romawi memindahkan perayaan tahun baru di tanggal 1 Januari. Ini juga bertepatan dengan perayaan Dewa Janus. Orang-orang Romawi berjanji akan berperilaku baik untuk tahun yang akan datang.
Baca juga: Mengapa November Menjadi Bulan ke-11, Bukan ke-9?
Sementara konsep membuat resolusi tahun baru paling banyak didominasi atas kontribusi budaya Barat. Meskipun beberapa negara di Asia juga memiliki tradisi serupa. Di Jepang misalnya. Beberapa orang berlatih Kakizome, di mana mereka menulis tujuan mereka untuk tahun yang akan datang dalam bentuk kaligrafi Kanji.
Ada banyak sejarah yang menuliskan perihal tradisi tahun baru dan resolusinya. Dan masih berlangsung sampai saat ini, orang-orang masih terus menuliskan berderet harapan dan impian yang mungkin akan terwujud.
Mengapa Resolusi Tahun Baru Bisa Gagal?
Ada beberapa hal yang menyebabkan kegagalan ini. Pertama, tujuannya tidak cukup spesifik. Orang seringkali menuliskan harapan dalam bentuk skala besar, tanpa mempertimbangkan fokus dari yang direncanakan. Selain itu, resolusi yang dituliskan lebih sering berbentuk "tujuan" bukan "rencana". Tujuan tanpa perencanaan yang matang tentu hanya akan menjadi harapan bukan?
Kedua, terlalu banyak resolusi. Beberapa orang membuat perencanaan yang ekstrem di awal tahun. Menuliskan berderet-deret impian tanpa mempertimbangkan kapasitas diri dan bagaimana "cara" untuk mewujudkannya.
Ketiga, sulit mengubah perilaku. Sebagian dari isi resolusi tahun baru adalah tentang mengubah diri menjadi lebih baik lagi, mengubah sikap dan persona diri. Tentu ini menjadi sulit ketika tidak dibarengi dengan proses mengetahui tentang "diri" serta menyadari kelebihan, kekurangan, serta kebutuhan "diri".
Selanjutnya, karena tidak adanya akuntabilitas. Bertanggung jawab pada diri sendiri bukanlah hal yang mudah. Orang seringkali membuat alibi untuk setiap kegagalan dengan tidak berani mencari tahu kesalahan diri sendiri. Padahal untuk mencapai perubahan, kita perlu menguraikan masalah-masalah yang menjadi penghambat tercapainya tujuan. Dan bisa jadi, masalah itu tidak selalu bersumber dari eksternal, melainkan dari internal diri.
Bagaimana untuk Berpegang Teguh pada Resolusi Tahun Baru dan Membuatnya tidak Sia-sia?
Menemukan resolusi "terbaik" tentu saja urusan subjektif dari setiap individu. Setiap diri memiliki ukuran yang berbeda untuk perhitungan kesuksesan dan kegagalannya. Tetapi ada beberapa hal yang mungkin bisa menjadi pertimbangan dalam menuliskan resolusi tahun baru. Seperti menuliskan rencana dengan lebih spesifik, membuat perencanaan yang jelas, relevan dengan hidup serta kemampuan diri, dan memberikan rentang waktu yang jelas untuk melaksanakannya.
Hanya dengan memiliki resolusi yang solid bukan berarti secara otomatis akan berhasil. Beberapa hal ini bisa menjadi bagian dari usaha untuk tetap berpegang teguh pada goals yang diinginkan.
Pertama, pantang menyerah. Ketika menemui kegagalan, bukan berarti dunia berakhir saat itu juga. Ketika menemui kegagalan, itu hanya berarti bahwa kita harus mencoba kembali, dengan cara yang lebih baik.
Kedua, konsisten. Menyesuaikan waktu secara teratur dan menjadwal rencana bisa membantu untuk bertahan dalam proses. Terakhir, belajar sambil jalan. Bisa jadi, kita menemukan bahwa resolusi yang dibuat di awal kurang tepat. Bisa terlalu mudah atau terlalu sulit, atau tidak lagi relevan dengan situasi saat ini.
"Berkembang", menjadi aspek penting dalam proses mencapai tujuan. Terbuka dengan kemungkinan serta ide-ide baru bisa membantu kita mencapai tujuan dengan lebih baik. Selain itu dengan mindset yang terbuka, bisa membantu menyadari bahwa kemajuan dapat dicapai dengan proses belajar dan usaha. Menjadikan rintangan sebagai tantangan dan permainan untuk diselesaikan.
Membuat atau tidak membuat resolusi tahun baru menjadi pilihan setiap individu. Ada atau tidak ada lembar suci "goals" satu tahun ke depan, hidup akan terus berlangsung dan sudah pasti menuntut untuk diselesaikan. Setiap orang memiliki cara berbeda untuk membuat setiap detik yang berjalan menjadi lebih bernyawa. Satu hal yang menjadi sama untuk setiap orang, bertanggung jawab terhadap keputusan dan pilihan yang diambil.
Selamat tahun baru. Semoga hidup yang kita pilih bisa benar-benar menjadi "kehidupan" yang tidak hanya sekedar hidup, tetapi juga menghidupi. [Ainun Nafisah]
KOMENTAR