Hubungan antara pengetahuan dan kebijaksanaan diperkenalkan oleh seorang filsuf asal Yunani, Socrates (469–399 SM). Baginya, pengetahuan adalah sebuah jalan. Jalan menuju kebahagiaan, jalan menjalani kehidupan yang baik dan jalan bagi kehidupan yang berilmu.
Pengetahun bukanlah sebatas apa yang manusia pikirkan, tetapi melahirkan sebuah intelektual etis. Yang artinya, orang yang bermoral adalah orang yang memiliki pengetahuan tentang kebajikan. Menjadi adil berarti mengetahui apa yang dibutuhkan keadilan. Bersabar berarti memiliki pengetahuan tentang cara melatih pengendalian diri. Dan sebaliknya.
Jika etika adalah suatu bentuk pengetahuan, maka etika dapat diajarkan. Namun, apakah selama ini kita hidup dalam bayang-bayang doktrin Socrates bahwa kebajikan adalah bentuk pengetahuan? Atau kebajikan tidak lebuh dari sekadar perasaan baik dan benar?
Menurut Socrates, pengetahuan dan kebajikan adalah satu kesatuan. Orang yang berbudi luhur juga orang yang bijaksana. Dia tidak hanya melakukan apa yang benar; dia juga tahu apa yang benar. Dan, tentu saja, menjadi berpengetahuan dan berbudi luhur berarti membuat kemajuan di jalan menuju kebahagiaan (eudaimonia).
Intelektualisme Etis atau intuisionisme?
Salah satu implikasi dari pemikiran Socrates yang menyebutkan pengetahuan dan kebajikan adalah satu artinya tidak ada yang secara sadar melakukan tindakan jahat. Melakukan kesalahan berarti mengabaikan apa yang dituntut oleh kebajikan.
Implikasi intelektualisme etis Socrates ini dianggap tidak sesuai dengan penilaian moral kita sehari-hari. Seandainya seseorang melakukan tindakan jahat dengan membunuh seorang anak untuk menyelamatkan hidupnya, berarti orang tersebut bertanggung jawab atas tindakannya. Namun mengatakan mereka bertindak karena ketidaktahuan berarti memberi mereka alasan untuk kejahatan mereka sendiri.
Hal tersebut juga dikritik oleh filsuf Aristoteles (384–322 SM), Menurutnya, jika pengetahuan merupakan kebajikan, berarti telah menghilangkan bagaimana bagian irasional dari jiwa mempengaruhi tindakan etis.
Terkadang kegagalan moral tidak selalu hasil dari ketidaktahuan atau cacat pengetahuan. Sebaliknya, bisa juga diakibatkan dari kelemahan karakter moral kita. Kelemahan yang menuntun kita untuk dengan sengaja melakukan perbuatan jahat. Pada akhirnya, kita harus bertanggung jawab atas kelemahan itu dan tindakan itu.
Tidak hanya itu saja, sebagian orang juga menganggap tidak semua tindakan etis berakar dari rasionalitas. Ada juga tindakan etis yang bergantung relatif terhadap individunya atau budayanya. Contohnya keberanian dinilai lebih intuitif dan situasional.
Namun dalam pemikiran Socrates, kita didorong untuk mengintelektualisasikan kebajikan. Kita akan membenarkan penilaian etis, tindakan, atau tuduhan kesalahan moral seseorang tanpa menarik rasionalitas. Bagi sebagian orang, moralitas adalah masalah intuisi, perasaan bahwa suatu tindakan itu salah (atau benar) tanpa mengetahui persis mengapa alasan dari sebuh tindakan yang dinilai tidak etis. [Gita Fajriyani]
KOMENTAR