Di era digital seperti sekarang, penggunaan smartphone sudah menjadi kebutuhan. Terlebih semenjak adanya pandemi Covid-19, di mana hampir seluruh lini kehidupan beralih ke dunia virtual, mulai dari kegiatan pendidikan, ekonomi, hiburan dan lain sebagainya. Hal ini membuat hidup kita hampir setiap saat tidak bisa lepas dari genggaman smartphone.
Namun sayangnya kata "bergantung" sering kali dimaknai sebagai sesuatu yang negatif. Ada sebuah sinisme dan stereotype yang merepresentasikan kata "bergantung" adalah sesuatu yang mengandung risiko dan harus diperangi. Misalnya saja seperti konteks yang sedang kita bicarakan, ketika semua aktivitas beralih ke smartphone dan kita tidak bisa lepas darinya, disebutnya sebagai kecanduan.
Sebagaimana artikel publikasi dari The Washington Post dan The Atlantic, yang memperingatkan tentang bahaya kecanduan teknologi. Kecanduan smartphone telah mengakibatkan tingkat depresi dan bunuh diri lebih tinggi di kalangan remaja. Selain itu, dapat mengakibatkan perubahan perilaku yang mengkhawatirkan, di mana seseorang terutama generasi muda menjadi tidak produktif.
Melihat hal demikian, kemudian sebagian orang merespons kecanduan teknologi dengan kemarahan. Orang-orang berusaha mencari solusi agar tidak menjadi kecanduan smartphone dengan menonaktifkan notifikasi HP bahkan tidak menggunakan smarthphone.
Namun tidak semua orang melakukan hal tersebut, faktanya masih ada orang-orang yang merasa dirinya kecanduan smartphone, tetapi tetap membiarkan dirinya terganggu. Pasalnya ketika orang-orang mencoba mencari cara untuk keluar dari candu tersebut, di sisi yang lain ada banyak orang di balik layar menghabiskan seluruh waktunya mencari cara untuk membuat kita kecanduan.
Hal ini semacam pertarungan dua kubu, di mana salah satu tim ada yang harus dimenangkan. Sedangkan kemampuan psikologi seseorang terkadang tidak mampu merespons sesuai dengan prioritas yang ditentukan. Melihat bagaimana kekuatan zat adiktif teknologi dan media dengan mudahnya mampu memanipulasi pikiran dan perilaku seseorang.
Fitur- fitur yang dijual di dalam smartphone seakan dapat menarik seluruh perhatian pengguna. Misalnya saja konten hiburan dan sosial media yang membuat para pengguna smartphone tidak sadar selama berjam jam menghabiskan waktunya untuk menscroll beranda sosial media mereka. Kegiatan ini dilakukan secara berkelanjutan hingga membuat seseorang tidak bisa lepas dari tatapan layar gawainya.
Dalam kondisi yang lain teknologi telah menjadi begitu penting dalam kehidupan manusia. Menatap layar menjadi jalan satu-satunya cara orang dapat bekerja, sekolah, bersosialisasi, mendapatkan informasi, menikmati hiburan dan lain sebagainya. Dengan keadaan seperti ini, bagaimana seseorang dapat menghindari smartphone?
Di sinilah letak paradoks yang selama ini menjadi diskusi publik. Praktik perjalanan teknologi dianggap selalu meninggalkan jejak risiko. Namun di sisi yang lain era digital dan informasi seperti sekarang membuat kebutuhan akan smartphone tidak dapat terhindarkan.
Membuang atau tidak menggunakan smartphone bukan menjadi solusi terbaik, karena kita memang membutuhkannya. Tetapi membiarkan diri kita sepenuhnya dikendalikan oleh teknologi yang membuat diri kita kehilangan kontrol juga bukanlah ide yang baik.
Mendisiplinkan diri menjadi salah satu alternatif. Pengguna teknologi dapat mengontrol diri agar tidak terjebak dalam lingkaran waktu yang membuat seluruh waktunya dihabiskan untuk menatap layar smartphone.
Selain itu, pengetahuan seseorang dalam menggunakan teknologi menjadi 'kunci utama'. Dalam menggunakan teknologi seseorang perlu memfilter kualitas konten yang akan dikonsumsi. Dan memilah sejauh mana konten tersebut dapat meningkatkan kualitas diri. Hal ini bisa diketahui ketika seseorang memahami esensialitas maupun tujuan pencarian informasi tersebut.
Untuk tidak terbawa arus informasi yang masih buram secara kredibilitas maupun kualitasnya, diet informasi juga dapat menjadi langkah praktis yang dapat dicoba. Bagaimana kita bisa memilah dan memilih informasi mana yang akan kita konsumsi maupun kita bagikan ke orang lain.
Tetapi solusi seperti itu tidak dapat dilaksanakan tanpa upaya dan rencana bersama. Bagaimana kita perlu mengikuti arus waktu yang terus berjalan dan di dampingi dengan sikap perubahan tersebut. Di sini menandakan bahwa transformasi seseorang tidak dapat diwujudkan dengan waktu yang singkat, tapi perlu adanya kontinuitas.
Perjalanan kehidupan di dunia ini selalu dinamis, salah satunya dengan kehadiran teknologi yang setiap waktu kian tumbuh dengan kemapanan dan kecanggihannya. Melihat kenyataan ini, bukan berarti kita sebagai manusia harus memerangi teknologi yang dianggap mengancam manusia. Tetapi, bagaimana kita sebagai manusia dapat memerangi ketidaktahuan diri kita yang stagnan di dalam kehidupan yang dinamis. [Gita]
KOMENTAR