Pancasila menjadi pedoman, pandangan hidup, serta ideologi bagi bangsa Indonesia. Pancasila dipilih menjadi sebuah falsafah kehidupan lantaran secara hakikat Pancasila memiliki dimensi dan urgensi yang penting untuk diresapi dan diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Bagaimana setiap nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila bersumber dari nilai-nilai nyata yang hidup di dalam masyarakat baik secara etnik, sosial budaya, maupun agama. Kemudian mengandung cita-cita dan harapan yang ingin dicapai dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dan mengandung kekuatan yang mampu membangkitkan masyarakat untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran baru tentang nilai-nilai dasar yang terkandung di dalam Pancasila.
Para founding father Pancasila yang terdiri dari para tokoh nasionalis maupun agamawan mengkonstruksikan nilai kehidupan bangsa Indonesia ke dalam rumusan sila-sila pancasila. Di mana dalam hal ini pancasila bukan "menciptakan", melainkan merumuskan dan memperjelas hal-hal yang sebelumnya bersifat implisit (nilai-nilainya terkadung dalam kehidupan masyarakat) menjadi pragmatis melalui Pancasila.
Lima rumusan Pancasila yang meliputi aspek ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kekeluargaan, dan keadilan menjadi falsafah hidup bangsa Indonesia hingga saat ini. Namun dalam proses perjalanannya tidak sedikit orang yang tidak lagi sejalan dengan ideologi Pancasila. Misalnya yang dilakukan oleh kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang telah dibubarkan pemerintah beberapa tahun lalu.
HTI berkeinginan mengganti ideologi pancasila sebagai dasar negara dengan ideologi negara khilafah islamiyah yang dianggapnya sesuai dengan nilai-nilai Islam. Dengan tujuan untuk menghidupkan konsep politik yang diyakini sebagai kewajiban umat Islam. Menurut mereka, sistem khilafah Islamiyah sudah termaktub dengan jelas dalam kitab suci dan sunnah. Begitu pula catatan sejarah kekuasaan Islam, di mana sejak zaman Nabi Muhammad sampai jatuhnya Kerajaan Utsmani pada abad ke-18 M ini menggunakan sistem ideologi tersebut.
Menurut Taqiyuddin an-Nabhani selaku pendiri golongan HTI menerangkan dalam kitab Daulah Islam dan Mafahim Hizbut Tahrir, yang menyebabkan generasi Islam saat ini tidak tertarik dengan konsep khilafah karena tidak pernah menilik sistem pemerintahan Islam. Dengan itu, HTI mengupayakan adanya kesatuan tunggal bagi seluruh umat Islam di dunia, khususnya di Indonesia dengan menafikan batas-batas geografi, kebudayaan, dan politik bangsa-bangsa, (Tirto.id, 08/05/2017).
Hal tersebut kemudian menjadi diskusi publik terkait problematika adanya keinginan untuk mengubah ideologi bangsa Indonesia. Apakah hal tersebut sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia? Apakah Pancasila sudah tidak relevan dengan kondisi masyarakat yang terus berkembang? Apakah Pancasila tidak sesuai dengan ajaran agama?
Mantan Menteri Agama Republik Indonesia, Fachrul Razi, dalam Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) ke-61 mengatakan semua butir-butir Pancasila itu sejalan dengan seluruh ajaran agama. Misalnya sila pertama pancasila yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” dan bunyi Undang-Undang Dasar Negara RI Bab XI pasal 29 ayat 1 tentang Agama yang berbunyi “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Sebagaimana bunyi sila pertama merupakan sebuah landasan teologis yang menjadi cermin bagi konsepsi tauhid yang juga tertuang dalam surat al-Ikhlas “Katakanlah, “Dia-lah Allah, yang Maha Esa.”
Hal ini juga sejalan dengan sikap Nabi Muhammad SAW saat merancang perjanjian Hudaibiyah antara kaum Islam dan kaum kafir Quraisy. Beliau menetapkan perjanjian damai antara kaum Islam dan Quraisy dengan mengizinkan keduanya memeluk agama yang mereka yakini.
Dalam hal ini menunjukan bahwasanya nilai yang terkandung dalam sila pertama sebagai wujud kebijaksanaan beragama. Kebijaksanaan artinya, dalam sila pertama ini tidak ada pemrioritasan agama tertentu. Di mana setiap orang memiliki hak untuk menentukan agamanya masing-masing.
Kemudian dalam sila kedua yang berbunyi “Kemanusiaan yang adil dan beradab” sejalan dengan firman Allah dalam surat an-Nahl ayat 90, “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”
Dengan kata lain, ayat di atas memaparkan secara tersirat bahwa Pancasila dirumuskan sebagai produk yang mengimplementasikan pengamalan Islam wasathiyah atau Islam moderat dalam konteks kenegaraan dan kebangsaan. Sederhananya, Pancasila telah sejalan dengan konsep seluruh agama, termasuk Islam sekalipun.
Maka, sejarah panjang perdebatan antara agama dan negara tidak perlu diperdebatkan ulang dengan mendikotomi kedua persoalan ini. Sejatinya, agama dan negara dapat dikombinasikan tanpa perlu memunculkan konflik baru. Keduanya dapat berjalan beriringan dalam membangun peradaban yang memiliki nilai-nilai spiritual sebagai pedoman dan risalah keislaman. [Imam Mawardi]
KOMENTAR