Emosi dan pikiran merupakan dua hal yang berbeda dan perlu untuk kita pahami. Emosi merupakan respons naluriah yang bersumber dari keadaan, suasana hati, ataupun hubungan seseorang dengan orang lain. Perasaan naluriah ini berbeda dengan penalaran atau pengetahuan. Sedangkan pikiran adalah seperangkat kognitif termasuk di dalamnya ada kesadaran, persepsi, pemikiran, penilaian, dan memori.
Meskipun antara emosi dan pikiran adalah dua hal yang berbeda, namun kekuatan emosi yang tidak dikendalikan mampu memengaruhi pikiran kita. Kekuatan emosi dapat memengaruhi pikiran yang membuat kita merasakan sesuatu dalam tubuh kita. Kemudian beberapa emosi yang kita rasakan juga dapat memengaruhi diri kita. Yang lebih fatal emosi juga dapat mengalahkan diri kita, ketika informasi yang kita terima itu salah atau disalah pahami.
Ketika kita memahami peran antara emosi dan pikiran, emosi tidak akan mengendalikan pemikiran kita. Namun sebaliknya, pikiran kitalah yang akan mengendalikan emosi kita. Mengingat emosi hanyalah perasaan, dan perasaan bukanlah ukuran yang akurat untuk menilai tentang baik dan buruk ataupun benar dan salah. Karena perasaan adalah emosi, dan emosi bukanlah salah satu di antara Indera manusia, sehingga emosi bukan menjadi alat yang dapat digunakan untuk menentukan sebuah realitas.
Dalam hal ini, yang menjadi pengendali atas diri kita bukan hanya kekuatan emosi saja, melainkan juga kekuatan pikiran. Pasalnya berpikir menjadi metode akurat yang dimiliki manusia untuk menentukan realitas. Inilah yang menjadi alasan mengapa kita tidak boleh membiarkan emosi mengendalikan pemikiran kita.
Kita perlu melakukan introspeksi dengan bertanya pada diri kita sendiri. Apakah emosi saya mengendalikan pikiran saya atau pikiran saya mengendalikan emosi saya? Pasalnya perubahan fisik dalam tubuh seseorang dapat menyebabkan emosi tertentu. Tetapi hanya pikiran yang melalui proses penalaran yang dapat menentukan apakah perubahan fisik itu berbahaya atau tidak.
Mampu mengendalikan emosi, kognisi, dan perilaku diri kita sendiri merupakan prediktor penting dalam proses interaksi kita baik secara individu maupun kolektif. Pasalnya emosi bukanlah sebuah respons reflektif yang tidak bisa dihindari atau dikendalikan oleh seseorang. Hal ini justru berbanding terbaik, emosi dapat dinegosiasi selama kita memahami tentang kompetensi emosional baik terhadap diri kita sendiri maupun kepada orang lain.
Kompetensi emosional mengacu pada kemampuan seseorang untuk mengungkapkan atau melepaskan perasaan batin (emosi) yang ada di dalam dirinya. Ketika kita memahami kompetensi emosional diri kita, menyiratkan jika kita telah mampu mengendalikan diri terkait bagaimana kita berekspresi, berbicara maupun bertindak dalam ruang interaksi sosial. Kompetensi emosional juga menjadi penilaian penting terhadap kecerdasan sosial seseorang untuk mengenali, menafsirkan, dan merespons secara konstruktif emosi dalam diri kita dan orang lain.
Memahami Sinyal Palsu
Dalam hal ini kita tidak sedang mencoba menekan perasaan kita, melainkan hanya berusaha untuk meminimalisir gangguan emosional yang dapat menjebak kita dalam realitas semu. Proses akan pengendalian emosi dapat dilakukan ketika kita menyadari jika emosi merupakan sinyal palsu yang diciptakan oleh kita secara tidak sadar. Lalu bagaimana kita dapat memahaminya ?
Hal utama yang perlu lalukan dalam proses pengendalian emosi dengan mengenali diri kita sendiri. Kita perlu memahami sekaligus menyadari perasaan-perasaan yang ada dalam diri kita dan belajar untuk mengolah dan mengendalikannya. Proses untuk mengenali sinyal palsu ini tidak bisa dilakukan secara instan tetapi memerlukan proses berkelanjutan. Karena mengenali jenis-jenis sinyal palsu itu bukanlah fungsi otomatis dari pikiran.
Selama proses pengendalian emosi, diri kita perlu untuk memahaminya, karena emosi atau perasaan tersebut tidak akan berubah dengan dirinya sendiri. Bagaimana kita perlu belajar untuk terus beradaptasi dengan diri kita ataupun lingkungan sekitar kita. Dengan beradaptasi artinya kita terus belajar berpengetahuan dan mengenali diri kita sehingga tidak ada kekhawatiran akan ketertinggalan.
Menjadi manusia berpengetahuan adalah sebuah proyeksi penting dalam hidup. Oleh karena itu, kita perlu memahami pembelajaran. Di mana belajar layaknya pencatu daya yang tidak pernah berakhir. Tetapi kita harus memberinya makan dengan pengetahuan dan informasi. Dengan belajar dan berpengetahuan setiap orang hidup hari ini. [Gita]
KOMENTAR