"Tidak ada pengetahuan yang mutlak. Dan mereka yang mengklaimnya, apakah mereka ilmuwan atau dogmatis, membuka pintu tragedi. Semua informasi tidak sempurna. Kita harus memperlakukannya dengan rendah hati," Bronowski, J.
Pernahkah selama ini kita mempertanyakan tentang, siapa aku sebenarnya? kenapa aku dilahirkan? atau untuk apa aku hidup di dunia?. Mungkin sebagian dari kita merasa aneh ketika mendengar pertayaan semacam itu. Atau sebaliknya, justru merasa kesulitan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan diawal.
Sepanjang sejarah mungkin kita tidak pernah meragukan dan tidak ada alasan untuk meragukan diri sendiri. Terlalu sering kita menerima begitu saja apa yang ada dalam diri kita sebagai sebuah anugerah. Selain itu, minimnya variasi pemikiran yang kita terima, yang membuat kita enggan untuk mempertanyakan sesuatu yang dianggap sebuah kepastian.
Kemunculan filsafat menjadi salah satu faktor sejarah tumbuhnya pembahasan tentang skeptisisme. Hal ini menunjukan bahwa kita tidak harus yakin dan keraguan adalah sebuah penemuan baru, yang perlu kita praktikan dalam kehidupan sehari-hari. Skeptisisme disini artinya proses penalaran kemudian bagaimana kita menjadi skeptis terhadap pandangan sendiri. Skeptisesme memiliki penekanan pada ketidakpastian yang menjadi pintu gerbnag untuk membuka pengetahuan.Rasional Vs Empiris
Pembahasan tentang akal di dunia Barat sudah dimulai oleh Plato dan para pendahulunya. Sekalipun tidak akrab dengan filsafat, mungkin pernah mendengar tentang Plato dan Socrates. Socrates seorang filsut asal Yunani yang terkenal skeptis terhadap pendapat umum yang diyakini oleh kebanyakan orang.
Selama hidupnya Socrates menyibukkan diri untuk selalu bertanya kepada orang-orang di pasar, di jalanan dan dimana saja. Socrates melakukan dielaketika dengan cara menjawab pertanyaan dan bertanya kepada orang-orang untuk mendapatkan jawaban terdalam atau esensial.
Kita mungkin pernah mendengar perkataan Socrates yang paling banyak dikutip, "Satu-satunya hal yang saya tahu adalah bahwa saya tidak tahu apa-apa." Perkataan ini telah membuat bingung banyak orang selama ribuan tahun karena seakan-akan terlihat kontradiksi, hingga Socrates mendapatkan gelar "Paradoks Sokrates." Namun apakah hal tersebut benar-benar paradoks?
Mengetahui dan meragukan adalah dua hal yang bertolak belakang. Maksud pandangan Socrates, di mana kita tahu bahwa kita tidak tahu mungkin saja kita mengetahui tetapi terbatas, atau kita tahu tetapi keliru. Beberapa kritikus juga mencoba untuk memahami apa yang Socrates katakan tentang "yang dia tahu adalah dia tidak tahu apa-apa".
Salah satunya Filsuf Anthony Gottlieb menuliskan dalam bukunya The Dream of Reason. Ia menjelaskan ketika Socrates mengatakan dia tidak tahu apa-apa, dia hanya mengklaim ketidaktahuan tentang dasar-dasar moralitas. Dia tidak menyatakan skeptisisme umum apa pun tentang fakta sehari-hari.
Melihat pada saat itu, orang-orang Yunani membedakan jenis-jenis pengetahuan. Antara pengetahuan ilmiah umum tentang sifat benda (episteme), kemudian pengetahuan kontemplatif dari filsuf "dalam mengejar kebenaran" (sophia), hingga pengetahuan pragmatis, atau "kebijaksanaan praktis," para pembuat undang-undang dan negarawan (phronesis).
Ia menganggap Socrates tidak akan skeptis terhadap hal-hal ini. Pasalnya Socrates mempercayai jika adanya jawaban atas pertanyaan kita karena pengetahuan dan pikiran tidak identik dengan fungsi sensorik. Bagi Socrates, indera hanyalah "alat pengetahuan dan pikiran, namun bukan hal yang utama. Lebih lanjut Socrates mengatakan mungkin seseorang bisa dianggap mahir dala suatu hal, namun belum tentu bijaksana.
Orang-orang bijak adalah mereka yang memiliki kemampuan untuk mengatur nafsu dan keinginan pada otoritas akal. Pasalnya indra dianggap penuh tipuan, dan hal ini sebagai tugas orang bijak untuk menjinakkan indra karena indra "tidak bisa menjadi cahaya kebenaran."
Kemudian litelatur setelah Socrates banyak yang mencari tentang pengetahuan objektif. Dari Socrates Plato, Francis Bacon, Rene Descartes, Bertrand Russell dan John Rawls, para pemikir bercita-cita untuk menemukan sesuatu yang konkret: bahu epistemologi untuk berdiri.
Munculnya Plato dan Rasionalisme
Plato menjadi filsuf yang mendokumentasikan semua yang dikatakan Socrates. Pato juga menjadi salah satu pemikir paling produktif di Barat yang menekankan realitas tidak berubah dan hanya dapat dipahami oleh pemikiran rasional. Hal ini yang melahirkan kubu pengetahuan pertama yang selama ini disebut rasionalisme.
Rasionalis percaya, seperti yang diuraikan Socrates di atas, jika indra kita menipu dan satu-satunya cara untuk mencapai kebenaran objektif di dunia ini adalah dengan menggunakan akal. Memang, Plato mempercayai penalaran menjadi kebajikan tertinggi dan kesenangan duniawi, atau tubuh, hanyalah gangguan pada kehidupan pikiran.
Selama masih memiliki tubuh dan jiwa kita akan terus terkontaminasi oleh kejahatan. Kita tidak akan mendapatkan apa yang kita inginkan secara memadai. Pasalnya tubuh memberi kita ruang nafsu dan keinginan yang dapat menimbulkan gangguan. Saat tubuh kita tidak memiliki kendali, kita tidak pernah bisa memikirkan apa pun karena kita tidak memiliki waktu luang untuk berfilsafat.
Hal yang bertolak belakang justru digagas oleh murid Plato sendiri, Aristoteles. Ia menjadi salah satu kritikus terbesarnya. Dimana Aristoteles percaya bahwa orang memiliki "naluri alami untuk mencapai kebenaran." Di sini Aristoteles "menghargai" bagian persepsi dan emosi menjadi alat untuk mencapai kebenaran.
Namun, Aristoteles tidak memunculkan teori pengetahuan, atau epistemologi, seperti yang dijelaskan oleh Pasnau yang telah disebutkan dalam After Certainty; sebagai gantinya, Aristoteles menawarkan "sebuah catatan tentang batas ideal penyelidikan manusia." Aristoteles menulis dalam Metafisika:
Mempelajari kebenaran itu sulit dalam satu hal, dengan cara lain mudah. Sebuah tanda dari ini adalah bahwa tidak ada yang mampu mencapainya sepenuhnya, atau sepenuhnya merindukannya. Tetapi setiap individu mengatakan sesuatu tentang sifat segala sesuatu, sehingga sementara dia secara individu dapat berkontribusi sedikit atau tidak sama sekali, dari kolaborasi semua ada jumlah yang besar. Ini seperti pintu pepatah: siapa yang bisa gagal untuk memukulnya? Dalam hal ini mudah; tetapi mampu memahami keseluruhan dan tidak hanya sebagian membuat kesulitan menjadi jelas.
Ketika sampai pada kebajikan dan 'moralitas' kita, jika kita dapat menyebutnya demikian, Aristoteles juga berpikir bahwa, apa yang disebutnya sebagai kebajikan 'intelektual' dan 'moral', terkait erat dengan akal. Dalam pengertian itu dia setuju dengan Plato; kebenaran dapat dicapai tetapi sulit diperoleh.
Dalam kata-kata Meacham, Aristoteles berpikir kita harus "sangat sadar akan keterbatasan pengetahuan." Socrates, Plato, dan Aristoteles membuat tanda di dunia. Mereka memperkenalkan percakapan mendasar kami tentang skeptisisme, rasionalisme, dan empirisme. [Gita]
KOMENTAR